Minggu, 28 Februari 2016

SIRAH NABAWIYAH (16)



KEADAAN MEKKAH SEBELUM NABI DILAHIRKAN

Masih ada hubungan erat dengan dua suku besar yang berkuasa di Mekkah yaitu suku Jurhum dan suku Khuza’ah. Suku Jurhum adalah suku Arab yang paling pertama masuk ke Mekkah, datang dari negeri Yaman, dan nabi Ismail 'alaihissalaam menikah dengan anak dari kepala suku Jurhum. Seiring berjalannya waktu, datang lagi suku Arab yang lain bernama suku Khuza’ah, yang berusaha merebut Mekkah dari suku Jurhum dan akhirnya menguasai Mekkah.

Pada saat suku Jurhum dikalahkan, mereka menimbun air zam-zam, sehingga suku Khuza’ah yang berkuasa setelahnya di Mekkah selama kurang lebih 300 atau 500 tahun (perselisihan pendapat di antara para ahli sejarah), mereka tidak memiliki sumber air (zam-zam). Oleh karena itu, suku Khuza’ah mendatangkan air dari luar. Kemudian muncul juga kisah Amru bin Luhay yang pertama memasukkan berhala ke Mekkah. Karena bingung tidak ada air di Mekkah, akhirnya disembahlah patung-patung yang didatangkan tadi karena berharap ada air. Ini rentetan sejarah yang lalu.

Kisah Qushay bin Kilab
Ia adalah seorang tokoh Mekkah, turunan dari Fihr. Fihr ini adalah Quraisy.
Note: Orang-orang Arab itu, kalau ada di antara tokoh masyarakat yang punya keturunan banyak, punya nama baik, punya kekayaan, hampir semua kebaikan-kebaikan tersebut ada padanya, maka diberilah julukan dari nama dia sebagai nama suku. Misal: Quraisy. Dari mana asal Quraisy? Dia adalah nama orang, seseorang bernama Fihr. Orangnya kaya raya, punya keturunan banyak serta dia dituakan dan diistimewakan di Mekkah. Karena keturunannya banyak, pengaruhnya besar, maka dinisbatkanlah suku orang-orang Mekkah ke dia (Fihr), padahal Fihr sebenarnya hanya salah satu dari masyarakat Mekkah. Begitulah seterusnya sampai hari ini.

Qushay bin Kilab termasuk salah satu tokoh masyarakat Mekkah yang sangat dikenal dan punya kedudukan, nama baik, wibawa, keturunan dan semua kebaikan berkumpul padanya. Ia berasal dari keturunan suku Jurhum, suku Arab pertama yang masuk ke Mekkah pada saat nabi Ismail dan ibunya Hajar ada di sana sendirian.

Waktu itu, bukan suku Jurhum yang berkuasa, tapi suku Khuza’ah. Qushay bin Kilab ini akhirnya menikah dengan anak kepala suku Khuza’ah yang sedang berkuasa di Mekkah. Raja dari suku Khuza’ah waktu itu bernama Hulail. Hulail punya anak gadis, dinikahi oleh Qushay bin Kilab. Pada saat terjadi pernikahan tersebut, maka Qushay bin Kilab makin harum namanya. Selain dia punya kelebihan secara fisik, kekayaan, wibawa, dia juga turunan Jurhum yang dulu berkuasa di Mekkah, dan sekarang menikah dengan anaknya raja Mekkah dari suku Khuza’ah.

Ketika Hulail meninggal, maka Qushay bin Kilab ini menobatkan dirinya menjadi raja Mekkah menggantikan mertuanya. Karena Qushay bin Kilab berasal dari suku Jurhum sementara yang berkuasa sebelumnya (Hulail) dari suku Khuza’ah, maka suku Khuza’ah saat itu menolak. Walaupun Qushay anak menantu Hulail, suku Khuzaah tetap tidak terima karena menganggap masih ada anak-anak Hulail yang lain yang bisa menjadi raja Mekkah.

Akhirnya, Qushay bin Kilab mengumpulkan semua dari suku Jurhum terutama dari orang-orang Quraisy (turunan Fihr), hingga terbentuklah kekuatan. Suku Khuza’ah juga membentuk kekuatan. Maka hampir saja pada saat itu Mekkah berperang, artinya masyarakatnya jadi terbagi dua; suku Jurhum dan suku Khuza’ah. Tetapi, karena sudah banyak pernikahan yang terjadi antara mereka (suku Jurhum dan Khuza’ah), termasuk Qushay bin Kilab, yang dikhawatirkan jika terjadi peperangan akan menimbulkan permasalahan dalam rumah tangga mereka, maka akhirnya disepakati, daripada perang, lebih baik mereka mencari satu orang penengah (hakim) yang menentukan, siapa kira-kira yang berhak memimpin Mekkah, apakah Qushay bin Kilab dari suku Jurhum menggantikan mertuanya atau kekuasaan dikembalikan ke suku Khuza’ah lagi (dari keturunan Hulail yang lain).

Ditemukanlah satu orang yang dituakan oleh orang-orang Arab saat itu, bernama Ya’mur bin Auf. Dia adalah seorang hakim yang masyhur di Mekkah. Umurnya sudah mencapai 100 tahun waktu itu. Hampir setiap masalah yang dihadapi oleh orang-orang Arab yang induknya berada di Mekkah, jika mereka tidak bisa pecahkan, mereka kembali ke orang ini (Ya’mur). Ketika diminta menjadi penengah, Ya’Mur mengatakan, “Baiklah... Datangkan saksi-saksi, 5 atau 6 dari suku Jurhum dan Khuza’ah”.

Saksi-saksi datang. Dibuatlah kesepakatan tertulis bahwasanya apapun yang Ya’mur bin Auf tentukan sebagai sebuah keputusan, harus disetujui, tidak boleh ada yang memberontak. Disepakatilah. Maka, Ya’mur pun mendatangkan Qushay bin Kilab, didudukkan. Kemudian didatangkan pula anak Hulail yang lain (namanya tidak disebutkan dalam buku sejarah) mewakili suku Khuza’ah.

Qushay ditanya oleh Ya’mur, “Apa permasalahanmu? Mengapa kamu tiba-tiba ingin menobatkan dirimu menjadi raja Mekkah? Apakah hanya karena kamu anak mantunya Hulail, raja Mekkah?”
Qushay menjawab, “Bukan. Jika dilihat dari history/sejarah, komunitas di Mekkah ini dibentuk oleh kakek saya yang bernama Ismail yang menikah dengan anak kepala suku Jurhum yang merupakan suku saya juga sementara suku Khuza’ah ini (suku mertua saya, Hulail, dan seluruh keturunannya) hanya datang, menyerang dan merebut Mekkah dari kami tanpa sebab.”

Ketika salah satu anak Hulail yang secara rentetan keturunan akan dijadikan pengganti Hulail ditanya, ia tidak bisa ngomong. Tokoh-tokoh suku Khuza’ah juga ditanya tak ada yang bisa menjawab, karena sejarahnya memang begitu; Khuza’ah datang memerangi Jurhum, dikalahkan, suku Jurhum keluar dari Mekkah.

Maka pada saat itu, tiba-tiba saja Ya’mur bin Auf mengatakan, “Semua kekuasaan Mekkah kembali ke Jurhum”. Mulai saat itulah, karena Qushay turunan dari Fihr (Quraisy), maka yang berkuasa di Mekkah bukan lagi Jurhum, tapi suku kecilnya (Quraisy). Ini sudah mulai masuk ke rentetan sejarah Mekkah. Ini kisahnya. Quraisy itu nama seorang tokoh bernama Fihr. Dan itulah kisah mengapa Quraisy mendominasi kekuasaan di Mekkah.

Akhirnya, dari keputusan Ya’mur bin Auf, Qushay bin Kilab dipastikan menjadi raja Mekkah dan kembalilah semua kekuasaan kepada suku Jurhum, tepatnya yang berkuasa adalah turunan dari Quraisy. Qushay ini adalah salah satu dari kakek Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, jauh di atas Abdul Mutthalib. Nantinya, kita akan melihat, di Mekkah yang akan berkuasa adalah orang-orang Quraisy langsung dari turunan kakek nabi shallallaahu 'alaihi wasallam. Jadi, nabi shallallaahu 'alaihi wasallam adalah turunan raja di Mekkah, bukan masyarakat biasa.

Qushay bin Kilab, setelah menjadi raja, ternyata memang orangnya sangat adil dan baik, sehingga suku-suku Khuza’ah pun banyak yang puas dengan kepemimpinannya. Dia membangun sebuah tempat yang bernama Daarun Nadwah di Mekkah, sebuah tempat besar tempat berkumpulnya masyarakat Mekkah. Apapun kegiatannya kembali ke Daarun Nadwah. Termasuk nanti ketika orang-orang Quraisy ingin membunuh dan mengusir nabi shallallaahu 'alaihi wasallam dari Mekkah, mereka berkumpul di Daarun Nadwah. Nah, yang membangun Daarun Nadwah ini adalah Qushay bin Kilab, raja dari suku Jurhum yang akhirnya ternobatkan menjadi raja setelah mertuanya meninggal.

Qushay bin Kilab dikaruniai Allah beberapa orang anak. Diantara sekian banyak anak-anaknya, yang terkenal (dalam buku-buku sejarah banyak disebutkan) adalah ‘Abdud Daar dan Abdul Manaf. Sebelum Qushay bin Kilab meninggal, ia melihat anak-anaknya yang lain ini punya kedudukan dan berhasil kecuali ‘Abdud Daar. ‘Abdud Daar, anak tertuanya ini tidak punya kekuatan, orangnya lemah secara fisik, tidak punya wibawa di masyarakat.

Untuk memberikan kedudukan yang baik buat anaknya, ‘Abdud Daar, maka Qushay menulis sebuah surat wasiat, “Kalau saya meninggal, yang menggantikan saya adalah ‘Abdud Dar, tidak boleh anak yang lain karena mereka sudah punya kedudukan di masyarakat, punya kekayaan dan keturunan”. Jadi, setelah Qushay meninggal, yang datang (menjadi raja) adalah ‘Abdud Dar.

‘Abdud Daar ini memegang semua yang berurusan dengan Mekkah. Waktu itu belum ada pembagian tugas seperti misalnya: memberi makan dan minum jemaah haji. Zaman dulu itu, orang-orang Quraisy punya kemuliaan, seluruh jemaah haji yang datang mereka yang memberi makan dan minum. Jadi jamaah haji cuma datang dengan pakaian ibadah mereka, nanti disana baru diberikan makanan dan minuman. Dan semua yang dibutuhkan dari kendaraan (unta, kuda) itu semua disiapkan oleh  orang-orang Quraisy.

Qushay bin Kilab memberikan pemerintahan itu kepada ‘Abdud Daar, termasuk juga Daarun Nadwah, tempat pertemuan yang besar tadi. Berjalanlah kepemimpinan tersebut. Ringkas cerita, waktu ‘Abdud Daar meninggal, maka mulailah terjadi perselisihan di Mekkah. Anak-anaknya ‘Abdud Daar ingin meneruskan kerajaan itu, tapi anak dari Qushay bin Kilab (Abdul Manaf dan yang lain) menolak karena masih ada anak-anak Qushay yang lain. Mereka mengatakan dulu kerajaan diberikan kepada ‘Abdud Daar hanya untuk mengharumkan namanya karena dia tidak punya wibawa di masyarakat. Terjadilah perselisihan.

Karena perselisihan terjadi dan mereka hampir ribut, akhirnya disepakati pembagian tugas. Khusus untuk urusan Ka’bah; Qiswah/pembungkus ka’bah, mengurus mata air zam-zam, itu diberikan kepada keturunan ‘Abdud Daar, termasuk Daarun Nadwah. Keturunan Qushay yang lain yaitu Abdul Manaf, tugasnya mengurus jemaah haji (makan, minum, dll-nya). Jadi, ada pembagian tugas di Mekkah.

Jadi pembagian tugasnya waktu itu sampai hari ini masih sama. Termasuk kunci Ka’bah, yang memegang sekarang masih dari turunan ‘Abdud Daar. Sementara pengurusan jemaah haji dahulu dari turunan Abdul Manaf, tentu sekarang sudah tidak ada lagi karena jemaah haji sekarang pembiayaannya secara individual.

Teruslah mereka saling mewarisi hal ini, sampai di zamannya Abdul Mutthalib. Abdul Mutthalib ini turunan dari Abdul Manaf. Nanti di zaman Abdul Mutthalib ini, tidak ada lagi pembagiaan tugas itu, artinya tinggal memegang kunci ka’bah saja yang dipegang oleh turunan ‘Abdud Daar. Nanti ketika Abdul Mutthalib dinobatkan menjadi raja Mekkah sehingga Quraisy menjadi satu, tidak ada lagi istilah turunan ‘Abdud Daar dan Abdul Manaf.

Masih sejarah dari Abdul Manaf, turunannya terkenal sekali dengan karom (kemuliaannya). Karena mereka merasa memberi makan dan minum jamaah haji adalah sebuah tugas terhormat, sampai air yang mereka datangkan dari luar Mekkah, dibeli dengan harga mahal kemudian dicampur dengan susu dan madu untuk diberikan kepada jamaah haji. Waktu itu mata air zam-zam masih tertimbun, nanti di zaman Abdul Mutthalib baru ditemukan kembali. Ini perilaku yang sangat terkenal dalam sejarah dan jumlah jamaah haji waktu itu sangat banyak.

Kalau kita lihat sekarang, sebenarnya masih ada diantara turunan-turunan mereka (Quraisy di Mekkah) melakukan perilaku ini. Dan banyak juga orang-orang yang lain melakukannya, seperti misalnya kalau di Arafah, di Mina, di Muzdalifah, ditemukan banyak kontainer-kontainer membagi susu secara Cuma-Cuma. Membuka pintu kontainer lalu teriak “Sabilillah” kemudian jamaah haji berebutan. Nah, perilaku yang terjadi di zaman Abdul Manaf, itu masih terjadi sampai sekarang, tapi memang sudah tidak ada lagi pengkhususan, siapa saja boleh mengerjakan. Begitupun dengan jamaah haji yang lain, disarankan tidak hanya duduk di kemah, kalau ada kesempatan keluar saja beli makanan lalu bagikan kepada jamaah haji, ini juga termasuk amal yang positif, sehingga ada amal yang plus.

Tentang Daarun Nadwah, ada sedikit sejarah. Di zaman Abdul Mutthalib, Daarun Nadwah yang tadi disebutkan, dipegang oleh salah satu dari turunan ‘Abdud Daar. Pemegang kunci Daarun Nadwah ini punya hak mutlak, sama dengan pemegang kunci pintu Ka’bah, boleh dikunci boleh tidak, bebas, mutlak kekuasaan di tangan dia.

Salah satu pemegang kunci Daarun Nadwah (tidak disebutkan namanya dalam sejarah) pernah dipegang oleh seorang pemabuk. Ia pernah menjual Daarun Nadwah kepada salah seorang yang bernama Hakim bin Huzam (orang ini nantinya akan masuk Islam menjadi sahabat Nabi). Hakim bin Huzam ini memegang kunci Daarun Nadwah sejak zaman itu sampai zaman Muawiyah (zaman setelah khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali). Tidak ada yang merebutnya karena Hakim telah membelinya. Namun, kisah penjualan Darun Nadwah ini sesuatu yang tidak bisa dilupakan oleh ahli sejarah, karena lucu dan aneh kejadiannya.

Bagaimana kejadiannya? Hakim bin Huzam ini dekat dan bersahabat dengan pemabuk tadi, pemegang kunci Daarun Nadwah. Sementara mereka duduk, lagi mabuk-mabukan, Hakim berkata kepada pemabuk tadi, “Apakah engkau mau jual Daarun Nadwah buat saya?”.
Temannya (pemabuk tadi) mengatakan, “Iya. Saya akan jual.
Hakim bilang, “Berapa kau akan jual?
Dengan seteguk Khamr”. Jadi maksudnya, beri saya seteguk Khamr, saya akan memberikan kunci Daarun Nadwah.
Ini keduanya lagi mabuk.
Hakim bin Huzam bilang, “Baik kalau begitu. Saya beli. Saya tidak hanya memberi dengan seteguk, tapi 1 kendi Khamr”.
Diberikanlah 1 kendi khamr, lalu didatangkan seluruh saksi-saksi, dijual.

Turunan ‘Abdud Daar tidak ada yang bisa protes, karena sudah dijual. Akhirnya, kuncinya berpindah tangan ke Hakim bin Huzam sejak saat itu, sampai di zaman Mu’awiyah.

Di zaman Mu’awiyah, tahun 42 Hijriah, setelah setahun Mu’awiyah berkuasa, Hakim bin Huzam radhiyallaahu ‘anhum ini menjual Daarun Nadwah untuk kaum Muslimin (seluruh Mekkah sudah muslim saat itu). Ia menjual dengan 100.000 dinar. Mu’awiyah bertanya padanya, “Hai Hakim, bagaimana bisa kamu menjual Daarun Nadwah, syarafnya Quraisy? Orang Quraisy dulu sangat bangga dengan ini, kenapa kamu menjualnya hanya dengan 100.000? Kalau kamu menjual dengan lebih dari itu, mungkin bisa. Atau kamu tidak usah jual sehingga sejarah mencatat kamu sebagai pemegang satu-satunya.

Kata Hakim bin Huzam, “Wallaahi Amiirul Mu’minin. Saya dulu membeli ini hanya dengan seteguk khamr. Kalau sekarang saya menjual 100.000 dinar, itu jauh sekali beda harganya.” Kemudian dilanjut dengan kalimat yang luar biasa, Islam datang memuliakannya, kata Hakim bin Huzam, “Wahai Amiirul Mu’minin, hari ini bukan lagi kemuliaan karena rumahnya Qushay bin Kulab (artinya kisah Daarun Nadwah sudah habis, sudah gak ada lagi ceritanya), tapi sekarang kemuliaan karena ketaqwaan kepada Allah. Dan ini saya jual, wahai Amirul Mu’minin, bukan karena saya butuh uang (waktu itu Hakim bin Huzam adalah orang yang kaya raya), tapi saya memberikan kesaksian kepada Anda dan seluruh manusia menyaksikan, bahwasanya 100.000 dinar yang saya dapat itu saya infakkan di jalan Allah.

Ini sedikit kisah tentang Daarun Nadwah. Dibahas oleh para ahli sejarah karena kisah penjualannya yang unik.

Kembali ke kisah Abdul Manaf.
Abdul Manaf ini punya anak, yang masyhur bernama Hasyim. Hasyim ini punya anak lagi, namanya Syaibah.
Kita fokus ke Syaibah. Syaibah ini nama asli dan ia lebih terkenal dengan nama julukannya. Nama julukannya Abdul Mutthalib. Disini ada kisah tersendiri mengapa nama Abdul Mutthalib lebih masyhur dibanding nama aslinya, Syaibah.

Kisahnya...

Bersambung^^



(Sumber: ditranskrip dari ceramah Ust. Dr. Khalid Basalamah hafidzahullaah)
 
#sirahnabawiyah

Sabtu, 27 Februari 2016

Ulang Tahun itu...

Bismillaah..


Dari dulu, ingiiiin sekali menulis tentang Ulang Tahun ini, tapi gak jadi-jadi, hanya menguap di kepala, lalu lepas. Sekarang, ada momen, akhirnya memaksakan diri menulis tentang ini.

Hari ini, 27 Februari, katanya hari Ulang Tahun kabupatenku. Sejak pagi tadi, saya buka bbm, buka facebook, hampir semua berstatus sama. Ucapan Hari Ulang Tahun.

Ulang Tahun...
Sebenarnya asalnya darimana?
Siapa yang pertama kali mengadakan?
Siapa pencetus "Ulang Tahun" pertama di dunia ini?

Terkadang, saya berpikir, apakah memang semuanya patut dirayakan "Ulang Tahun"nya?
Sampai saya pernah menyampaikan ke suami, "Kak, bagaimana ya jika semua orang di dunia ini ulang tahunnya dirayakan? Mungkin tiap hari kita pusing dengan hal itu".
Pusing kenapa? Ya, mesti ada kado. Mesti ada ucapan. Tiap hari kerjaan kita, kalau buka facebook, minimal ucapkan "Selamat Ulang Tahun Fulan... Happy birthday Fulanah... dan seterusnya".

Apa gak repot? Apa gak berat kayak gitu?

Kata suami, "Yaa... menurutnya, orang-orang spesialnya saja yang dirayakan. Gak semua juga mungkin".

Berarti???
Ada ya orang-orang spesial di kehidupan kita? Tentu banyak. Lalu, ketika mereka semua ultah, kita rayakan gitu?

Subhanallaah...
Sungguh sempurna Islam mengajarkan kita. Semuanya sempurna. Mulai dari bangun tidur, sampai kita tidur kembali, semuanya ada perintah.
Lalu, apakah memang pernah didapatkan ada perintah untuk merayakan ultah ini?

"Kan cuma mau mengingatkan kita berapa usia kita".
Haruskah dengan cara itu?

"Kan berpahala juga kalau kita rayakan, kita bagi-bagi makanan ke orang-orang tidak mampu, dsb dsb"
Subhanallaah... Apa memang ada perintah seperti itu? Atau jangan-jangan, kita hanya sekedar menambah-nambah perintah dalam ajaran agama kita hingga terkesan sebagai sebuah ibadah yang bernilai baik di mata Allah? Subhanallaah...
Kalaulah itu baik, tentu orang-orang sebelum kita, orang-orang yang sudah dijamin masuk syurga oleh Allah yang disampaikan langsung melalui Rasulullaah shallallahu 'alaihi wasallam, tentu mereka lebih duluan mengerjakannya, tentu mereka berlomba-lomba merayakannya, jika seandainya itu adalah ibadah.

Tapi tidak saudaraku...
Ternyata, mereka tak pernah sekalipun merayakannya. Tak pernah ada berita bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat yang sangat dicintai Nabi, merayakan ulang tahun anaknya, 'Aisyah radhiyallaahu 'anha, anak tercintanya yang juga adalah istri Rasulullaah. Tak pernah, saudaraku...
Yah, kalau seandainya itu baik, tentu orang-orang terdahulu yang lebih mulia dari kita lebih duluan mengerjakannya..

Dan perlu kita tanamkan dalam diri, semua yang dilarang tentu ada mudharat yang ditimbulkan. Begitupun perintah kepada kita, tentu tak mungkin diperintahkan jika ia tidak bermanfaat buat kita.

Sama halnya dengan Ulang Tahun.

Marilah kita sama-sama memikirkan, untuk apa sebenarnya ada perayaan ulang tahun?
Marilah kita sama-sama menanamkan dalam diri, bahwa semua yang kita lakukan akan dimintai pertanggung jawaban. Semuanya... Tak ada yang luput.

Pun ketika kita merayakannya, tentu kita akan dimintai alasan mengapa kita berbuat.
Jika alasan kita tidak tahu, mungkin saja pena akan terangkat, hukuman tidak dikenakan.
Tapi... akan berbeda jikalau kita, saya dan kamu, TIDAK MAU TAHU.
Padahal, begitu banyak tersebar majelis-majelis ilmu, artikel-artikel Islam, buku-buku Islami.
Dan itu cukup buat kita untuk tidak mengatakan "Saya Tidak Tahu".

Mari saudaraku...
Mari kita renungkan kembali, apakah semua yang kita kerjakan sudah dalam tuntunan Rasulullaah, ataukah sebaliknya.
Jangan sampai kita melakukan suatu hal, kita sudah menganggapnya ibadah, kita mengira sudah dapat pahala, namun ternyata, yang kita dapat adalah DOSA. Naudzubillaah...

Sinjai, 27 Februari 2016

Kamis, 18 Februari 2016

Akhir Sebuah Proses

Bismillaah...

Seringkali, kita memandang orang dengan hanya melihat ia bagaimana sekarang. Kita tak pernah mau mencoba untuk melihat, bagaimana ia bisa sampai ke apa yang kita pandang sekarang. Pun kita tak pernah ingin tahu bagaimana kerasnya ia bisa sampai di titik yang menurut kita "sempurna"

Terkadang, kita pun membanding-bandingkan dengan apa yang kita miliki.
Seakan-akan, apa yang kita miliki itu, dialah yang terburuk. Dialah yang tak mampu menjadi seperti yang kita inginkan.

Padahal, semua butuh proses. Semua tentu akan berusaha untuk menjadi yang terbaik. Jatuh, bangkit, jatuh lagi dan bangkit lagi, adalah usaha yang tak semestinya kita anggap remeh.

Kalau kita tak bisa membantu, minimal jangan mematahkan semangatnya. Jangan anggap remeh. Jangan pula membandingkannya dengan sesuatu yang telah melewati proses.

Sinjai, 18 Februari 2016

SIRAH NABAWIYAH (15)



KISAH MASUKNYA AGAMA YAHUDI DAN NASRANI DI JAZIRAH ARAB 

Kenapa kisah tentang Kisrah ini diangkat? Karena Saif bin Dzi Yazin yang ikut dengan gerombolan tadi, ketika tiba di depan Kisrah, ketika hijab dibuka, semuanya sujud kepada kisrah kecuali Saif bin Dzi Yazin ini. Bukan tidak sujud karena dia beriman kepada Allah, tetapi karena ada tujuan lain.

Kisrah kaget, karena baru pertama kali dalam hidupnya, ada orang tidak sujud pada dia. Padahal semua orang yang datang padanya, semuanya sujud.
Lalu ditanya, “Kenapa kamu tidak sujud?
Dia bilang, “Karena ada masalah besar”.
Ditanya lagi sama Kisrah, “Apa masalahmu?
Diceritakanlah sama dia (Saif) bahwa kerajaan orang tuanya diambil oleh orang-orang Ethopia, begini, begitu, diceritakan semuanya.
Kisrah bilang, “Lalu apa yang Engkau inginkan?
Saya ingin dibantu. Tolong berikan saya pasukan supaya saya bisa mengembalikan kerajaan orang-orang tua saya di Yaman dan saya mengusir orang-orang Afrika agar kembali ke negaranya”.

Kisrah musyawarah dengan menteri-menterinya. Mereka bilang, “Untuk apa kita serang Yaman? Yang kita tau, Yaman disana tidak ada apa-apa, hanya padang pasir dan pohon-pohon kurma. Untuk apa masuk kesana? Tidak ada gunanya.”

Karena Kisrah tahu bahwa Saif bin Dzi Yazin ini bekas turunan raja Yaman dan supaya nama Kisrah tidak rusak, Kisrah menghormatinya dengan memberi hadiah. Hadiahnya yang diberikan Kisrah itu 10.000 keping fiddoh (perhiasan-perhiasan dari perak, emas (dzahab)) dimana waktu itu nilai hadiahnya sangat mahal. Selain itu, Saif juga diberikan 10.000 qiswah (pakaian yang bagus dari sutra).

Tujuan Saif datang ke Kisrah bukan untuk meminta hadiah, tetapi ia ingin supaya ada pasukan untuk merebut kembali kerajaan Yaman. Ketika Saif mengambil hadiah itu dan keluar di depan istana Kisrah, Saif teriak, “Hadiah”. Dilemparlah semua kepingan-kepingan perak dan emas, dibagi-bagikan ke masyarakat. Baju-baju kain yang mahal yang terbuat dari sutra pun dilemparkan semua. Padahal hadiah ini nilainya sangat luar biasa (mahal). Sebagian ahli sejarah mengatakan, kalau dia pakai, ia bisa hidup sampai tujuh turunan, saking banyaknya. Tapi tidak, Saif melemparkan semuanya.

Kisrah dengar ada keributan di depan istananya, bertanya “Ada apa?
“Anak tadi yang dari Yaman melemparkan semua hadiah-hadiah dari Anda”.
Karena perilaku itu, Kisrah berpikir ada sesuatu. Tidak mungkin dia sampai melempar dan tidak mau mengambil hadiah dari Kisrah. Ditanyalah kembali Saif bin Dzi Yazin, “Kenapa kamu begini?

Untuk memancing agar Kisrah mengutus pasukan, Saif berkata, “Untuk apa emas dan perak beserta kain-kain ini, untuk apa saya jauh-jauh datang dari Yaman sementara semua gunung Yaman emas dan perak, saya tidak perlu yang kecil-kecil begini”. Padahal, sebenarnya tidak ada, dia berbohong supaya dia dapat bantuan dari Kisrah.

Setelah itu, Kisrah bilang kepada menteri-menterinya, “Saya tidak pernah dengar di Yaman gunung-gunungnya emas. Bagaimana kira-kira pendapat kalian?”
Ada salah satu menterinya yang bilang pada Kisrah, “Begini saja. Sekarang, di penjara istana kita ini, banyak sekali (mungkin ribuan) orang-orang (perampok ataupun penjahat) yang tinggal menunggu waktu untuk dibunuh. Ambillah mereka itu, kemudian bentuk satu pasukan dan utus ke Yaman bersama Saif bin Dzi Yazin ini. Kalau mereka terbunuh atau dikalahkan, tidak ada masalah, kita tidak rugi apa-apa, karena memang mereka targetnya sudah ingin dibunuh di penjara. Kalau mereka menang, maka Anda sudah beruntung, karena Yaman akan menjadi daerah kekuasaan Anda. Tidak perlu repot kirim pasukan-pasukan khusus.”

Kisrah setuju. Dibentuklah pasukan. Ada yang mengatakan mereka berjumlah 800 orang, ada pula yang mengatakan sampai 8000 orang. Untuk memperkuat pasukan tersebut, Kisrah mengutus satu pimpinan perang yang paling kuat. Disebutkan dalam sejarah, pimpinan perang itu orangnya tinggi besar, sampai kalau ia berdiri, orang-orang di dekatnya kelihatan kecil. Namanya Hurmuz. Dia memang pimpinan perang. Dia memiliki busur panah yang talinya tidak ada yang bisa menariknya kecuali dia. Kalau dia memanah, tidak pernah meleset dan pasti tembus, apapun itu ; batu, pohon pasti tembus, saking kerasnya memanahnya.

Berangkatlah pasukan yang dipimpin oleh Hurmuz ini bersama dengan Saif bin Dzi Yazin ke Yaman. Masruq, raja Yaman yang merupakan cucu Abrahah, mendengar berita tentang kedatangan pasukan ini. Ringkas cerita, Masruq juga membentuk pasukan dimana pasukan tersebut juga (sama seperti Abrahah) mengendarai gajah. Terjadilah peperangan diantara keduanya.

Ketika peperangan terjadi, Hurmuz tanya ke Saif bin Dzi Yazin, “Mana rajanya?
Itu rajanya”, sambil menunjuk Masruq yang kebetulan hadir di peperangan tersebut. “Masruq duduk di atas gajah, diantara dua matanya ada permata merah. Itu orangnya.
Kata Hurmuz, “Baik. Tunggu, kalau dia sudah tinggalkan gajah, beritakan kepada saya.”
Kebiasaan raja-raja dulu, dia naik di kendaraan yang paling kuat, itulah gajah. Kalau ia beserta pasukannya merasa sudah aman dan merasa pasukannya sudah menang, si raja akan pindah ke kendaraan yang sedang, misal: kuda. Kalau merasa lebih aman lagi, dia akan pindah ke kendaraan kerajaannya.

Waktu itu, Masruq punya tiga kendaraan yang siap. Ada gajah yang bisa berperang dan bisa menyelamatkan dia, ini yang paling kuat. Kalau dia merasa aman, dia pindah ke kuda, ini kendraan yang sedang. Kalau dia merasa lebih aman lagi dan merasa pasukannya sudah menang, dia pindah ke Baglah (perkawinan antara keledai dan kuda) yang jalannya sangat lambat dan hanya dipakai oleh raja-raja saja.

Nah, karena Masruq merasa aman, dia pindah ke kuda. Disampaikanlah ke Hurmuz, Hurmuz mengatakan “Biarkan dulu. Tunggu dia pindah ke Baglah”. Begitu Masruq pindah ke Baglah, maka Hurmuz naik ke atas sebuah gunung yang tinggi, jaraknya jauh sekali, kemudian menarik anak panahnya dan memanah ke arah Masruq. Saking kuatnya panahannya, sampai kena permata merah yang ada di antara dua mata Masruq dan tembus ke kepalanya. Masruq, raja Yaman, cucu Abrahah, MATI. Dengan matinya Masruq, maka Yaman jatuh dibawah kekuasaan Faris. Dan akhirnya, keluarlah kekuatan Ethopia (Nasrani) dari Yaman.

Pada saat itu, Yaman jadi berkecamuk karena sudah ada 3 agama; Yahudi, Nasrani dan orang-orang Faris yang tidak punya Tuhan (Atheis). Setelah Hurmuz berhasil masuk ke Yaman, ternyata Saif bin Dzi Yazin juga tidak diberi kerajaan. Akhirnya tetaplah Yaman dikuasai oleh Kisrah dan Kisrah menjadikan Hurmuz yang tadinya pimpinan perang sebagai raja.

Setelah Hurmuz meninggal, kerajaan terus berlanjut sampai datang Murzuban (pemimpin pengganti), kemudian berlanjut lagi kerajaan di Yaman, sampai datang lagi anaknya Tujuban dan terakhir, Kisrah menunjuk Bazan untuk memimpin kerajaan Yaman. Bazan ini punya kisah sendiri.

Kisah Bazan
Bazan menjadi raja di Yaman tapi dia gubernur dari Kisrah. Di zaman Bazan inilah nabi shallallaahu 'alaihi wasallam diutus menjadi nabi. Empat puluh tahun umur Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam di Mekkah, bersamaan dengan itu, Yaman dipimpin oleh Bazan. Bazan ini siapa? Tangan kanannya Kisrah di Yaman.

Waktu Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam diutus menjadi nabi, yang paling pertama dilakukan adalah mendakwahi masyarakat Mekkah dan mengirim surat-surat ke raja-raja (Romawi, Najasyi dan juga termasuk Kisrah).

Ketika surat tiba di tangan Kisrah (di Rusia) kemudian dibaca, “Dari Muhammad, utusan Allah (Rasulullah) mengajak raja Kisrah untuk beriman kepada Allah dan meyakini dia sebagai Nabi”. Kisrah ini pernah dengar Mekkah, jauh, kota kecil di Jazirah Arab, mengajak dia (raja Kisrah) untuk tunduk. Apa yang terjadi? Kisrah dengan kesombongannya mengambil surat nabi shallallaahu 'alaihi wasallam kemudian merobek. Ketika Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam mendengar bahwa Kisrah merobek suratnya, nabi shallallaahu 'alaihi wasallam berkata “Dia berani merobek surat panggilan dakwah saya, maka Allah akan merobek kerajaannya”.

Kisrah tetap penasaran dengan nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, siapa dia, dari kota kecil Mekkah, padang pasir tidak ada apa-apa, kemudian keluar seseorang dan meminta Kisrah untuk tunduk. Tapi Kisrah tetap tidak mau. Padahal nabi shallallaahu 'alaihi wasallam tidak meminta tunduk, beliau hanya meminta Kisrah beriman kepada Allah dan kerajaannya tetap, tidak akan diganggu.

Kemudian yang terjadi selanjutnya, Kisrah mengirim surat ke Bazan, tangan kanannya di Yaman. “Wahai Bazan, saya dengar dari Mekkah ada orang yang mengirim surat kepada saya, begini begini begini, coba kamu liat orang itu, apa ceritanya”. Bazan baca dan dengar Mekkah, dalam pikirannya Mekkah sebuah kota yang kecil, untuk apa mengutus pasukan kesana. Akhirnya Bazan hanya mengutus dua orang saja dari pimpinan pasukannya menuju ke Mekkah bertemu dengan nabi shallallaahu 'alaihi wasallam.

Pergilah dua orang ini bertemu dengan nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, lalu keduanya dengan sombong mengatakan, “Hai Muhammad, sebaiknya kamu ikut saja dengan kami, tidak usah buat masalah. Kami akan bawa kamu ke Kisrah. Kisrah minta agar didatangkan”.
Kata Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, “Saya tidak perlu ikut. Saya hanya sekedar menyampaikan bahwasanya Tuhan kita dan tuhan semua ini adalah Allah dan saya adalah utusanNya. Tetap kerajaan kalian dalam kondisinya”.
Mereka tetap tidak mau.
Kata Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, “Bagaimana kalau saya beritakan kepada kalian bahwasanya Allah, tuhan saya, sudah membunuh Kisrah malam ini”.
Mereka bilang, “Dari mana kau bisa tau itu? Kok bisa malam ini kau pastikan Kisrah mati”.
Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bilang, “Iya. Malam ini Allah telah mematikan Kisrah dan itu datang kepada saya melalui wahyu”.

Memang waktu itu, malamnya, Allah ‘azza wa jalla mematikan Kisrah, karena dia merobek surat nabi shallallaahu 'alaihi wasallam.

Pulanglah dua orang ini ke Yaman, bertemu dengan Bazan. “Hai Bazan, Muhammad tidak mau ikut, tapi dia bilang bahwasanya Kisrah sudah dibunuh oleh Allah, tuhannya.”
Waktu itu, mereka seperti menuhankan Kisrah. Jadi kalau Kisrah mati, itu berarti luar biasa, apalagi ada yang mengaku dibunuh oleh Tuhannya (nabi shallallaahu 'alaihi wasallam mengatakan ini supaya mereka beriman).
Bazan bilang, “Kalau begitu kita tunggu. Saya juga sudah lama dengar cerita tentang nabi-nabi bahwa mereka punya kelebihan. Kalau yang diinfokan oleh Muhammad dari Mekkah benar, berarti dia Nabi.
Di zaman itu, berita untuk sampai dari istana pusatnya Kisrah ke Yaman saja, itu butuh dua bulan.

Ternyata betul. Dua bulan kemudian, datanglah berita bahwasanya Kisrah terbunuh pada malam dimana Rasulullah mengatakan hal tersebut. Maka apa yang terjadi? Bazan dan semua pengikutnya masuk Islam.

Ini yang banyak tidak diketahui oleh orang-orang, bahwa ternyata di zaman Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam ada kerajaan Islam, itu di Yaman. Dan nabi shallallaahu 'alaihi wasallam tetap mengakui kerajaannya, nabi tidak pernah meminta bantuan apa-apa, dibiarkan saja, yang penting sudah beriman. Dan ulama mengkategorikan Bazan adalah salah satu dari Tabi’in yang masyhur, yang tadinya dia adalah gubernurnya Kisrah yang ada di Yaman. Setelah Bazan meninggal, maka datang anaknya bernama Syihr yang juga memimpin di Yaman, dan sama masuk Islam juga, dan nabi shallallaahu 'alaihi wasallam juga mengakui kerajaannya.

Sampai akhirnya, muncul seseorang dari Yaman, dari kepala suku Arab Asli Yaman, bernama Al Aswad Al Umsi. Di zaman nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, ia mengaku sebagai nabi. Dia membentuk pasukan dari asli orang Yaman, berperang melawan Syihr (anaknya Bazan) kemudian berhasil menang dan akhirnya dia mengaku sebagai Nabi.

Kurang lebih seperti ini yang kita bahas tentang bagaimana kisah masuknya Yahudi ke Jazirah Arab, bagaimana Nasrani, dan bagaimana Yaman masuk ke wilayah Kisrah (kerajaan Faris) serta bagaimana akhirnya jatuh dan masuk ke dalam agama Islam, dan itu di zaman nabi shallallaahu 'alaihi wasallam. Pembahasan Jazirah Arab selesai.

Selanjutnya kita akan bahas lebih mendalam ke masalah Mekkah dan akan lebih banyak fokus ke kelahirannya nabi shallallaahu 'alaihi wasallam. Tapi sebelumnya ada beberapa kisah yang perlu disampaikan. Diantaranya kisah tentang Qushay bin Kilab, salah satu kakek nabi shallallaahu 'alaihi wasallam jauh sebelum Abdul Mutthalib.


(Sumber: ditranskrip dari ceramah Ust. Dr. Khalid Basalamah hafidzahullaah)
 

Selasa, 16 Februari 2016

SIRAH NABAWIYAH (14)



KISAH MASUKNYA AGAMA YAHUDI DAN NASRANI DI JAZIRAH ARAB

Jadi, awalnya karena Abrahah bangun gereja Qulais untuk membuat Najasyi ridho, ternyata kasus yang lain terjadi, sampai akhirnya dia membentuk pasukan yang besar dari Yaman ingin menyerang Mekkah dan tujuannya bukan memerangi masyarakat Mekkah, tapi ingin menghancurkan Ka’bah saja, agar Ka’bah hilang dan mereka akhirnya terpaksa tawaf di Qulais. Itu tujuannya.

Lalu Abrahah mulailah keluar dengan pasukannya (pasukan Gajah), semua pasukannya pakai gajah, tidak ada kuda, tidak ada orang jalan kaki. Bayangkan kalau ribuan orang, semua pakai gajah, banyak sekali, keluar semuanya. Dan gajah-gajah yang dipakai oleh Abrahah ini memang gajah-gajah yang sudah dilatih untuk berperang.

Waktu dia keluar, mulai jalan dari Yaman  ke Mekkah, ia melewati banyak suku-suku Arab. Orang-orang Arab yang mengagungkan Ka’bah ini mendengar bahwa pasukan Abrahah keluar untuk menyerang Ka’bah, maka beberapa suku-suku Arab juga keluar membentuk pasukan untuk menghadang Abrahah. Yang pertama sekali keluar, ada seseorang yang bernama Dzu Nafar. Dzu Nafar ini membentuk pasukan, tapi kecil, mencoba menahan pasukan gajah tapi tidak berhasil dan dikalahkan oleh Abrahah. Dzu Nafar ditawan.

Setelah itu, mulai mendekat lagi dengan Mekkah, ada lagi suku Arab yang bernama Khuts’um, pimpinannya bernama Nufail ibnu Habib Al-Khuts’umi yang juga keluar menahan pasukan gajah tapi berhasil ditawan oleh Abrahah. Jadi sudah ada dua kepala suku Arab yang ditawan; Dzu Nafar dan Nufail.

Waktu itu, satu-satunya jalan dari Yaman untuk masuk ke Mekkah, itu harus melewati kota Thaif.
Note: ***Kota Thaif ini terletak sekitar 60-70 km dari Mekkah dan termasuk daerah pegunungan dingin. Kalau kita sekarang ke kota Thaif, melihat dari dalam mobil saja sangat susah (berkabut, dingin), melewati tebing-tebing dan masih naik lagi ke gunung. Kalau dibayangkan dulu, ribuan pasukan Gajah Abrahah datang kesana itu sangat luar biasa, mereka butuh waktu yang lama. Tapi yang jelas, mereka sampai ke Thaif.***

Masyarakat Thaif ini ketakutan karena sudah dengar Dzu Nafar dan Nufail dikalahkan. Abrahah waktu itu masih belum tau dimana Mekkah, dia cuma meraba-raba saja. Jadi setiap mengalahkan satu suku Arab, Abrahah memaksa suku tersebut untuk menunjukkan dimana Ka’bah tapi mereka satupun tidak ada yang mau menunjukkan, walaupun mereka harus dibunuh. Jadi Abrahah Cuma jalan terus hingga sampai ke Thaif.

Waktu sampai ke Thaif, masyarakat Thaif karena ketakutan, akhirnya menulis surat ke Abrahah “Kami gak mau melawan, silakan kalau Anda mau ke Mekkah, jangan perangi kota Thaif. Dan sebagai bukti kalau kami betul-betul tulus (tidak mau melawan), maka kami akan coba utus satu orang dari masyarakat kami yang siap menunjukkan kepada Anda dimana itu Mekkah”.

Keluarlah satu orang yang bernama Abu Rughol. Abu Rughol, sampai hari ini, dalam pepatah-pepatah Arab masih disebut, kalau ada orang yang berkhianat dikatakan Abu Rughol. Dan waktu dia mati (nanti akan ada sejarahnya kita sebutkan sebentar lagi) itu orang-orang Arab menjadikan kuburannya Marjaman (dilempari batu setiap lewat). Kenapa? Karena dia satu-satunya orang Arab yang berkhianat waktu itu, satu-satunya orang yang menunjukkan Mekkah kepada Abrahah.

Keluarlah Abu Rughol ini, dia tunjukkan dan menuntun Abrahah sampai tiba di pinggiran kota Mekkah dan Mekkah sudah kelihatan. Abrahah lalu memberhentikan pasukannya, membuat perkemahan disana. Abrahah ini tujuannya bukan mau memerangi masyarakat, karena dia tahu orang-orang disana tidak punya kekuatan. Targetnya adalah menghancurkan Ka’bah.

Abrahah bentuk pasukannya di sekitar perkemahannya yang besar, di pinggiran kota Mekkah. Untuk menakut-nakuti masyarakat Mekkah agar mereka menyerah, direbutlah semua gembalaan-gembalaan di sekitar situ. Diantara yang diambil oleh Abrahah, ada 200 ekor unta Abdul Mutthalib (kakek nabi shallallaahu 'alaihi wasallam).

Masyarakat Arab sudah mulai dengar, Jazirah Arab sudah mulai heboh, pasukan gajah sudah sampai di Mekkah. Abdul Mutthalib lalu keluar, bertanya “Bagaimana cara bertemu dengan raja (Abrahah) ini?”, karena waktu itu Abrahah tidak mau bertemu sama siapapun masyarakat Mekkah, maunya masyarakat Mekkah menyerah saja langsung.

Kebetulan waktu itu raja Mekkah adalah Abdul Mutthalib (nanti ada kisah tersendiri bagaimana ia menjadi raja, yang jelas sekarang ia sudah berada di posisi raja Mekkah). Waktu itu, Abdul Mutthalib pikir, bagaimana caranya, kemudian ia komunikasi satu demi satu sampai akhirnya dia bertemu dengan Dzu Nafar dan Nufail; dua kepala suku Arab yang tertawan oleh Abrahah di tengah jalan. Ngobrol, ngobrol, ngobrol, sampai ketemu bagaimana caranya bertemu Abrahah.

Dzu Nafar bilang, “Untuk ketemu dengan raja ini (Abrahah) tidak gampang, karena dia tidak membuka diri. Tapi, waktu saya lagi menuju kesini (saat tertawan), saya berkenalan dengan Unais, orang kepercayaan Abrahah. Barangkali melalui dia, Anda (Abdul Mutthalib) bisa bertemu”.

***Pasukan gajah itu ternyata, ada satu gajah di depan yang memimpin di depan. Dimana gajah itu pergi, yang lainnya ikut. Jadi sebenarnya kalau mau dikalahkan, gajah yang paling depan saja yang ditaklukkan, yang lainnya nanti akan lari sendiri. Gajah yang paling depan itu dipegang oleh seseorang yang bernama Unais. Unais ini orang yang sangat luar biasa, pimpinan perangnya Abrahah, orang yang paling dipercaya, karena kalau dia alihkan gajahnya, semua gajah lari. Jadi, Unais memang berpengaruh sekali.***

Berbicaralah dengan Unais dan akhirnya Unais bisa menjadi perantara untuk Abdul Mutthalib bisa bertemu dengan Abrahah.

Bagaimana kisah Abrahah bertemu dengan Abdul Mutthalib? 
Abdul Mutthalib ini terkenal orangnya, badannya tinggi besar, putih, sangat gagah dan punya haibah (wibawa, kharismatik). Waktu dia masuk ke kemahnya Abrahah, saking haibahnya (dalam buku-buku sejarah dikatakan), sampai akhirnya Abrahah turun dari singgasananya karena berpikir orang yang datang ini pasti punya kedudukan, tidak mungkin orang sembarangan (dan sudah sampai berita ke Abrahah kalau ia raja Mekkah), kemudian ia duduk bersama-sama di karpet. Lalu berbicaralah.

Abrahah mengatakan, “Apa hajatmu?”, diterjemahkan oleh si penerjemah, karena Abrahah bukan orang Arab, ia orang Afrika dan tidak mengerti bahasa Arab.
Abdul Mutthalib bilang, “Hai raja Abrahah, Anda datang ke Mekkah ini dan pasukan Anda sempat merebut gembalaan-gembalaan masyarakat kami, diantaranya ada 200 ekor unta saya. Saya datang ingin meminta agar gembalaan-gembalaan itu dibebaskan karena itu milik masyarakat dan juga 200 ekor unta saya.”
Abrahah mengamuk dan bilang, “Saya pikir kamu ini datang untuk minta supaya saya tidak menyerang Mekkah, supaya saya pulang. Ini, minta cuma dilepaskan gembalaan.
Lalu, Abdul Mutthalib mengucapkan kalimat yang dinukil dalam sejarah, yang membuat Abrahah jadi berpikir waktu itu. Apa yang dia katakan? “Saya pemiliknya 200 ekor unta itu. Kalau rumah yang Anda ingin serang ini ada tuhannya yang akan menjaganya, bukan saya. Saya tidak bisa bendung itu. Tapi saya pemilik 200 ekor unta itu.
Keluarlah Abdul Mutthalib. Abrahah masih bingung waktu itu. Tapi semua gembalaannya dilepaskan dan dikembalikan. Sebelum pergi, Abrahah bilang ke Abdul Mutthalib, “Hai Abdul Mutthalib, saya tidak akan punya masalah dengan warga Mekkah ini. Kau bawa semua masyarakatmu keluar dari Mekkah. Kosongkan. Biarkan saya hancurkan Ka’bah.
Abdul Mutthalib mengatakan, “Baiklah kalau maumu begitu.”

Abdul Mutthalib pulang dan diiklankan kepada semua masyarakat. Maka seluruh masyarakat Mekkah keluar, tidak tertinggal satupun. Mereka keluar naik ke gunung-gunung. Tapi waktu itu, kata ahli sejarah, mereka menyaksikan kejadian.

Abrahah pun masuk ke Mekkah dalam kondisi Mekkah kosong, tidak ada apa-apa. Begitu dekat dengan Ka’bah, maka Dzu Nafar tadi lepas dari tawanan kemudian dia mendekati gajah pemimpin yang di depan yang dipimpin oleh Unais. Gajah itu dikasi nama dari Yaman, namanya Mahmud. Akhirnya si Dzu Nafar ini bergantung di belalainya Mahmud, lalu berkata “Duduklah hai Mahmud, duduklah! Ini rumahnya Allah yang agung.

Anehnya, tiba-tiba Mahmud jadi duduk, tidak mau bergerak. Abrahah kaget. Kenapa? Karena kalau dia tidak bergerak, gajah lain tidak mau bergerak. Dipukul tidak mau, ditusuk tidak mau, tapi kalau diarahkan ke arah Yaman mau berdiri, kalau ke arah Ka’bah tidak mau. Tapi karena mereka tetap saja ngotot, maka dari kejauhan tiba-tiba langit menjadi gelap. Itulah BURUNG ABABIL yang Allah subhanahu wata'ala utus.

Sebenarnya tadi sudah ada sinyal dari Allah, qaddarallaah wa maa syaa a fa’al. Kalau seandainya dia kembali ke Yaman (tidak jadi menyerang), maka selesai. Tapi tidak, memang sudah begitu, mereka tentukan sendiri jalannya. Ini termasuk dalam takdir ikhtiari yang mereka pilih.

Akhirnya, semua burung ababil itu datang, tidak disebutkan berapa jumlahnya, tapi disebutkan dalam buku-buku sejarah dan beberapa atsar, bahwasanya memenuhi langit. Setiap burung menggenggam dua buah batu, yang batu itu lebih kecil daripada batu kerikil, kecil sekali, tapi dari Neraka Jahannam. Setiap batu mengenai satu orang, kalau menyentuh kepalanya tembus sampai ke kakinya. Akhirnya Allah azza wa jalla menghancurkan semuanya.

***Tidak disebutkan/ditemukan dalam buku-buku sejarah apakah si Dzu Nafar dan Nufail sempat selamat atau tidak, yang jelas dikatakan hancurlah pasukan gajah, semuanya dihabiskan oleh Allah subhanahu wata'ala. Bisa dilihat dalam surah Al-Fiil (105) : 1-5.***

Setelah hancurnya pasukan Abrahah, maka masyarakat Arab makin mengagungkan Ka’bah. Pada zaman itu, orang-orang Arab mengistilahkan perhitungan tanggal mereka dengan TAHUN GAJAH. Jadi kejadian gajah itu sebagai patokan; Misal: 1 tahun lewatnya tahun gajah, tahun ke 2 tahun gajah, tahun ke-3, tahun ke-10, dst. Pada tahun gajah inilah NABI MUHAMMAD SHALLALLAAHU 'ALAIHI WASALLAM LAHIR.

Kita kembali ke Yaman dulu agar tuntas kisah Jazirah Arab.
Di Yaman ini, waktu Abrahah mau keluar, dia kan jadi raja waktu itu di Yaman, atau tepatnya Gubernurnya Najasyi. Dia menitipkan anaknya bernama Yaksum. Jadi, waktu Abrahah mati, maka yang menjadi raja Yaksum. Yaksum meninggal, datang lagi anaknya bernama Masruq. Jadi dua orang ini adalah keturunan dari Abrahah.

Di zaman cucu Abrahah ini, Masruq, ada kisah lain. Waktu itu, ada salah satu  dari turunan Rabiah ibn Nashr, turunan Dzu Nuwas juga [raja yang dikalahkan tadi oleh ‘Iryadh dan Abrahah] yang bernama Saif bin Dzi Yazin. Saif yang merupakan orang asli Yaman ini merasa terganggu kenapa orang Ethopia yang menguasai daerahnya, sementara dia ini turunannya Dzu Nuwas (raja Yaman), mestinya ini harus dikembalikan. Saif bin Dzi Yazin ingin mencoba mengembalikan kerajaan orang tuanya. Bagaimana caranya? Dia bingung.

Akhirnya dia coba menuju ke Kaisar. Kaisar ini orang nasrani di wilayah Turki ke atas sampai ke Eropa, disitu kerajaan Nasrani. Kaisar tidak mau tolong. Kenapa? Karena Najasyi ini orang nasrani seagama dengan Kaisar, dan sekarang Yaman dibawah kerajaan Nasrani, untuk apa ditolong. Sementara orang-orang asli Yaman asalnya mereka beragama Yahudi. Dan sudah ada kisah Dzu Nuwas yang dulu membantai orang-orang Nasrani.

Akhirnya, dia bingung harus kemana. Kemudian dia pergi ke Irak. Sedikit review, waktu awal diceritakan ada yang bernama Rabiah ibn Nashr, raja di Yaman. Sempat dia mimpi kalau keluarganya akan dibantai oleh orang-orang Ethopia, kemudian ada sebagian keturunannya dia selamatkan menuju ke wilayah Irak. Sampai akhirnya keturunan Rabiah ibn Nashr, mereka berkembang di Yaman menjadi kerajaan, juga berkembang di Irak menjadi kerajaan. Jadi dua wilayah; Yaman dan Irak, itu sebenarnya dari turunan Rabiah ibn Nashr, satu orang saja, dari Yaman dulu. Di Yaman itu, sampai Dzu Nuwas terakhir yang terbunuh. Di Irak, ada satu turunan dia bernama Nu’man ibn Basyir yang merupakan raja Irak yang terkenal dari turunan Rabiah ibn Nashr, satu rumpun dengan Saif. Saif ingat, kayaknya di Irak ada kerajaan besar, itu keturunan yang sama dengan dia. Dia kesana menyampaikan kepada Nu’man ibn Basyir.

Waktu itu, Nu’man ibn Basyir bukan beragama Yahudi lagi. Dia orang yang patuh dan tunduk dibawah kerajaan Furs (wilayahnya: Irak, Iran, sebagian besar India dan seluruh Rusia). Irak dulu dibawah kerajaan Furs. Jadi, Nu’man ibn Basyir ini walaupun turunan raja yaman (Rabiah ibn Nashr), tapi dia sebenarnya dibawah pemerintahan kerajaan Furs. Saif bin Dzi Yazin ini bilang, “Ini, kerajaan orang tua kita di Yaman direbut sama orang-orang Ethopia. Bisa gak kamu (Nu’man ibn Basyir) tolong, bentuk pasukan, kita serang Yaman.

Kata Nu’man, “Tidak bisa. Walaupun saya raja di wilayah ini, tapi saya hanya seorang Gubernur (Gubernur Faris)”. Waktu itu ada raja di wilayah Faris, yang mempunyai julukan Kisrah (nama-nama Kisrah nanti akan banyak disebutkan di zaman nabi shallallaahu 'alaihi wasallam sampai zaman Umar bin Khattab).

Nu’man ibn Basyir melanjutkan, “Kalau kau mau, setiap dua bulan sekali, ada utusan dari Kisrah datang ke wilayah Irak ini, kemudian kami membayar upeti untuk Kisrah. Nanti pada saat utusan itu balik ke Kisrah, kamu boleh ikut. Nanti kamu sampaikan ke Kisrah. Kalau Kisrah utus pasukan, silakan.

Dua bulan kemudian, datang utusan dari Kisrah. Kemudian Saif bin Dzi Yazin, anak yang tadi di Yaman merasa terganggu kenapa orang-orang Najasyi memimpin kerajaan mereka, itu ikut ke Kisrah. Tujuannya ingin minta Kisrah membantu dia untuk mengembalikan Yaman ke kerajaan turunan Rabiah ibn Nashr dan orang-orang Najasyi (Ethopia) keluar dari Yaman.

***
Sedikit tambahan. Kisrah ini punya wilayah yang sangat besar. Mereka atheis, tidak punya tuhan. Bahkan Kisrah ini dianggap tuhan oleh masyarakatnya. Dia punya kerajaan yang sangat besar. Nanti kita akan sebutkan bagaimana kerajaannya runtuh di tangan beberapa sahabat nabi, di zaman Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Dan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam sudah mengatakan, istana putihnya Kisrah akan runtuh di tangan sebagian kecil dari ummatku. Dan memang waktu itu, yang masuk ke istananya Kisrah waktu diruntuhkan di tangan Umar bin Khattab radhiyallaahu ‘anhu, itu cuma sekitar 12 orang sahabat. Kerajaannya sangat besar luar biasa dan kisrah ini punya kerajaan yang luar biasa. Sampai waktu berhasil diruntuhkan di tangan sahabat, di dalam istananya kisrah itu banyak sekali kekayaan.

Diantara kekayaannya; gelang yang sangat besar, karena orangnya tinggi besar sehingga membutuhkan gelang yang sangat berat, di tangannya.

Tentang gelang...  Ada seorang sahabat nabi, namanya Suraqah bin Malik. Suraqah bin Malik inilah yang mengejar nabi shallallaahu 'alaihi wasallam ketika nabi hijrah ke Madinah, karena orang-orang Quraisy (abu Jahal, dll) waktu itu semua memberi keputusan, siapa yang menangkap Muhammad, maka akan dikasi 100.000 ekor unta. Yang kejar Nabi namanya Suraqah bin Malik. Tapi dia tidak bisa, karena tenggelam kaki kudanya di padang pasir sampai 3 kali.

Lalu, dia bilang ke Rasulullah, “Hai Muhammad, berikan saya keamanan. Saya tidak akan ganggu kamu. Pastikan saya tidak mati”. Maka nabi shallallaahu 'alaihi wasallam berkata kepada Abu Bakr, berikan dia tulisan “Aman”, bahwasanya dia tidak akan diganggu oleh kaum muslimin nanti kalau kaum muslimin sudah menang.

Lalu kata nabi shallallaahu 'alaihi wasallam pada saat itu, “Hai Suraqah, bagaimana perasaanmu kalau di tanganmu ada gelangnya Kisrah?”. Kata Suraqah ketika ia belum beriman, “Apakah yang Anda maksud wahai Muhammad, Kisrah yang sekarang berkuasa? Saya akan pakai gelangnya?”. Kata nabi shallallaahu 'alaihi wasallam “Iya”. Nanti, Suraqah ini masuk Islam dan menjadi sahabat Nabi.

Dan di zaman Umar bin Khattab, gelangnya Kisrah termasuk bagian daripada ghanimah (harta rampasan perang), kemudian dibawa ke Madinah. Waktu di Madinah, Umar melihat kekayaan yang sangat banyak dan mengatakan, “Subhanallaah yang telah membuat mereka tergila-gila dengan harta ini, dan Alhamdulillaah yang membuat kita sama sekali tidak tertarik dengannya”. Beliau (Umar) melihat ada gelangnya Kisrah, lalu kata Umar radhiyallahu ‘anhu “Mana Suraqah? Panggil Suraqah bin Malik!”, waktu itu sudah beriman, jadi sahabat di zaman nabi shallallaahu 'alaihi wasallam. Waktu Suraqah datang, Umar berkata “Hai Suraqah, ini gelangnya Kisrah. Pakai sekarang di tanganmu. Kemudian kelilinglah Madinah dan sampaikan kepada orang-orang apa yang telah nabi shallallaahu 'alaihi wasallam sampaikan kepadamu”.

Maka Suraqah sambil menangis, ia keliling madinah mengatakan “Saya telah dikatakan oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam saya akan pakai gelangnya kisrah, dan ini gelangnya kisrah”. Terus ia keliling Madinah (nanti akan disebutkan di kisah Umar bin Khattab).

Termasuk pula ghanimah yang sangat besar yaitu sebuah karpet. Besar karpet itu 60 kaki x 60 kaki, besar sekali. Kalau lagi musim salju di wilayah Faris, jika Kisrah lagi rindu ingin pohon-pohonan, ia membuka karpet itu. Jika karpet itu dibuka, ada pohon-pohonnya, dll. Bagus sekali. Itu dibawa ke Madinah. Waktu sampai ke Madinah, karpet itu tiba, Umar tidak tau mau apakan, maka Umar memotong-motong kemudian membagikan kepada sahabat. Kata Ali radhiyallahu 'anhu, “Saya dapat dan bagian saya kecil, cuma ukuran seperti sajadah. Itu saya jual 600 dirham (saking mahalnya)”.

Diantara yang lain yang banyak membuat orang-orang mengagungkan Kisrah adalah karena mahkota yang dipakai. Tiap hari, jika Kisrah ingin keluar untuk duduk di singgasananya, ada hijab/gorden/kain dimana hijab itu tidak akan dibuka sebelum mahkotanya diletakkan di atas kepalanya. Mahkotanya itu lebih besar 10x dari badannya. Mahkota yang dipenuhi banyak sekali permata itu diikat di rantai kemudian diturunkan dengan rantai tersebut hingga sampai ke arah kepalanya (jadi mahkota tidak melengket atau pas di atas kepalanya). Di atas tempat duduknya, banyak kaca-kaca yang jika terkena matahari, maka akan terpantul ke permata yang membuat permata akan menyala/bersinar. Ketika Kisrah duduk, mahkotanya sudah turun dan hijab sudah dibuka, semuanya sujud kepada Kisrah.

*** 


Kenapa kisah tentang Kisrah ini diangkat? Karena Saif bin Dzi Yazin yang ikut dengan gerombolan tadi, ketika tiba di di depan Kisrah, ketika hijab dibuka, semuanya sujud kepada kisrah kecuali......






Bersambung...

(Sumber: ditranskrip dari ceramah Ust. Dr. Khalid Basalamah hafidzahullaah)

#sirahnabawiyah