Kamis, 28 Agustus 2008

Yang Tegar sampai Akhir

Lelaki itu setidaknya telah menghadapi cobaan dari empat khalifah sekaligus. Di antara keempatnya ada yang mengancam dan menteror; ada yang memukul dan memasukkannya ke penjara; ada yang menggiring dan berlaku kasar kepadanya; dan yang terakhir mengimingnya kekuasaan dan harta benda. Namun semua itu, hanya semakin menjadikannya tegar di jalan Allah.

Demikianlah memang.
Dan begitulah seharusnya jalan kehidupan para pembesar yang menjadi ikutan. Mereka adalah pemilik cita-cita mulia. Dan demi cita-cita itu mereka mengganggap enteng semua rintangan, meremehkan semua rasa sakit. Karena itu, kita selalu melihat mereka memiliki iradah yang kuat, berkemauan baja, memiliki energi yang konstan tidak gampang larut oleh bujukan, serta tidak mudah lesu dengan berbagai rintangan yang menghadang.

Padahal kalau mau, mereka bisa saja bergeser sedikit saja dari ketinggian cita-cita dan pasti gelar kebesaran tetap akan disandangnya. Tapi mereka tahu persis bukan gelar kebesaran itu yang menjadikan mereka mulia di sisi Rabbnya. Apa arti semua 'gelar kebesaran' itu kalau itu hanya akan menyesatkan ummat yang berqudwah kepada mereka dan yang pasti mereka akan dicampakkan dalam hina di akhirat nanti. Begitulah memang selalu keadaan para pemilik cita-cita mulia. Sebab yang senantiasa tegambar dalam benak mereka adalah keabadian akhirat. Di sanalah jiwa-jiwa mereka terpaut, di sanalah kerinduan mereka senantiasa tertambat. Itulah sebabnya, mereka selalu menganggap enteng dunia ini beserta segala pernik-perniknya. Ketika mereka dalam keadaan sulit, kerinduan itu justru semakin membuncah. Dunia dalam pandangannya hanya sekedar wasilah meraih akhirat. Dunia mungkin hadir dalam kehidupan keseharian mereka; dunia mungkin mengalir begitu deras melalui tangannya; bahkan mungkin dunia datang bermohon agar ia bisa 'bersemayam' dalam kehidupan mereka. Tapi, jika itu semua bisa memalingkan dari cita-cita mulianya, maka mereka tidak segan-segan mengucapkan 'selamat tinggal' kepada dunia.Dan memang inilah yang dialami oleh Imam Ahmad bin Hambal-lelaki agung itu-.

Setelah beliau diteror dengan ancaman hukuman mati oleh al-Ma'mum, disiksa oleh oleh al-Mu'tashim, dan diasingkan oleh al-Watsiiq karena mempertahankan pendapatnya bahwa al-Qur'an adalah kalaamullah, maka datanglah al-Mutawakkil 'teror' yang lain. Meski khalifah yang terakhir ini tidak menteror dan menyiksanya, namun ini cukup 'menggusarkan' beliau. Betapa tidak, setelah teror dan siksaan tidak membuatnya bergeming dari pendapatnya, al-Mutawakkil justru datang memberi 'dunia' kepada beliau. Bukan agar beliau mengubah pendapatnya, tapi sebagai bentuk konpensasi sang khalifah atas perlakuan zalim yang diperbuat oleh para pendahulunya.

Akhirnya suatu ketika dikala beliau memenuhi panggilan khalifah. Beliau diberi baju, uang dirham, dan mantel oleh al-Mutawakkil, namun beliau justru menangis seraya berkata, ”Sejak enampuluh tahun aku bisa selamat dari ini semua, akan tetapi dipenghujung usiaku, Engkau menguji aku dengan ini”. Bahkan, begitu ia mendengar salah seorang putranya membangun rumah dari uang pemberian al-Mutawakkil, beliau tidak pernah menginjakkan kakinya di rumah itu sampai beliau meninggal dunia. Tentu, tidak ada yang keliru dari pemberian itu, namun begitulah selalu pemilik himmatul 'aliyah (semangat yang tinggi). Obsesi akhirat mereka selalu berhasil memadamkan kilau dunia yang menyilaukan.

(sumber:majalah al-bashirah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar