Senin, 26 November 2018

Ramadhan Sebentar Lagi

Tiba-tiba terkaget dengan pernyataan seorang kakak,
"Hampirmi lebaran, 6 bulan lagi".

Astaghfirullaah..
Rasanya baru kemarin habis lebaran idul fitri bersama suami dan anak-anak. Ternyata kemarin itu 5 bulan yang lalu. Waktu terus berjalan. Dan saya galau dan bingung dengan Ramadhan yang akan datang, mengingat suatu rencana besar yang saya dan suami ~rahimahullah~ rencanakan, tidak lama lagi waktunya tiba.

6 bulan lagi
Dan saya masih bingung, akankah saya lanjutkan rencana itu? Atau mengalihkan ke yang lain? Atau berhenti sampai disini?

Rencana itu adalah umroh Ramadhan.

Iya, sejak tahun 2017, suami menggagas rencana bersama ikhwah lain untuk berangkat umroh (lagi) setelah sebelumnya mereka berhasil umroh bareng. Dan mereka rencananya akan berangkat di tahun 2019. Umroh, i'tikaf sekaligus lebaran bersama di tanah harom. Mulailah mereka membuat rencana dengan membuat program "Tabungan Umroh". Dan hingga saat ini, masih berjalan dengan antusias semua para peserta.

Kecuali saya 😞😞😞

Sejak suami meninggal, rasanya putus harapan saya bisa kembali berumroh. Untuk program umroh ini, memang, sejak saya positif hamil, sejak saat itu pula suami bilang kalau saya gak bisa ikut di program kali ini. Banyak pertimbangan hingga beliau melarang saya untuk ikut. Padahal nama sudah tercantum dalam list program ini.

Qaddarullaah wa ma sya'a fa'al.

Rasa ingin ikut sebenarnya sangat besar. Mengingat, sebagian besar keluarga suami juga berencana akan ikut. Mama mertua, ipar bersama keluarga bahkan anak-anaknya rencana akan mereka ikutkan. Tapi satu, bapak mertua tidak ikut. Andai beliau ikut, mungkin saya fix juga akan ikut dan tidak perlu lagi mencari mahram lain.

Rasanya ingin ikut, karena tak sanggup Ramadhan kembali tanpa suami. Inginnya, saya berada di tempat lain, jauh dari tempat pengingat kenangan. Apalagi, pas curhat sama seorang kakak yang juga pernah ikut dan akan ikut lagi, beliau memotivasi untuk ikut. Katanya, kalau ditunda, takutnya muthowwif yang dulu keburu balik ke Indonesia.
Dan saya tambah galau.

Melihat kembali Hanin yang nantinya insyaallah masih berumur setahun, rasa ingin ikut kembali menciut. Usianya masih terlalu dini untuk ditinggal jauh. Pun ia tentu masih butuh ASI. Juga melihat 3 anak-anakku yang lain, yang jika saya ikut, artinya mereka saya tinggal bersama keluarga lain, rasanya juga tidak tega. Sudah ditinggal sama abinya, masa' umminya juga akan pergi. Jika mereka mungkin bisa mengeluh, mereka akan mengatakan, "Sungguh teganya dirimu, ummi".

Ingin membawa mereka, kembali lagi berpikir dana yang tentunya membutuhkan biaya besar. Jika membawa anak-anak, belum tentu bisa beribadah dengan khusyu', terlebih, berangkatnya juga di bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan itu, di tanah arab lagi musim panas-panasnya. Sangat panas, katanya. Jika membawa ke empat anak atau minimal membawa Hanin, takutnya kenapa-kenapa, takutnya tidak cocok dengan cuaca, makannya bagaimana, bagaimana kalau rewel, dan kekhawatiran lain.

Sebenarnya, ingiiin sekali umroh bersama anak-anak. Dulu sempat mengutarakan sama suami ketika beliau masih hidup. Tapi kata beliau, kalau mau, tunggu mereka besar dulu. Karena kalau masih anak-anak, agak repot dari segi biaya dan tenaga. Sebenarnya, tidak ada yg sia-sia. Namun, ingat kembali keefektifannya. Repot biaya, karena kesananya itu tidak murah. Andai kita tinggal disana, tentu bagus kalau kita skalian bawa anak. Tapi, ini jauh. Repot tenaga juga, karena kalau kita bawa anak-anak, agak sulit jika kita mau beribadah full atau khusyu', mengingat, yang namanya anak-anak, mesti ada penjagaan full dari orang tuanya, apalagi disana tempatnya selalu ramai. Butuh tenaga ekstra juga karena tempat penginapan dan mesjidil haram itu belum tentu dekat jaraknya. Jadi, kalau anak-anak masih kecil, belum bisa fokus beribadah, belum tau urus diri sendiri, mending ditunda dulu katanya. Mending, kita kesana, betul-betul fokus dan berdoa untuk mereka, itu jauh lebih efektif.

Betul juga.

Tapi tetap, saya masih galau. Antara pergi, atau tidak.

Biarlah Allah yang memutuskan, mana yang terbaik diantaranya. Semoga Allah masih memberikan kesempatan dan usia agar bisa memaksimalkan kembali waktu di bulan mulia. Aamiin...

Semoga kita semua dimudahkan untuk bisa menginjakkan kaki kita disana, di tanah harom, Insyaallah, aamiin

Sabtu, 24 November 2018

Bayimu Kecil 😟

Bismillaah...

"Anaknya kecil, mungkin kurang ASI"

Kata-katanya sesederhana itu, tapi efeknya luar biasa. Bikin si ibu stress, tidak percaya diri, gelisah, khawatir, merasa bersalah, merasa disalahkan. Akhirnya? ASI ibu jadi "seakan-akan" kurang lancar, si bayi gelisah dan nangis terus menerus. Padahal, kenyataannya belum tentu seperti yang hanya dikira-kira.

Di lain waktu, ketika si bayi dibawa ke puskesmas untuk menimbang berat badan, alhamdulullaah naik, walau hanya 3ons. Kata ahli gizi disana, "ASI nya bagus ya...". Si ibu, karena seringnya mendengar kata-kata "kurang gizi atau kurang ASI", kaget mendengar pernyataan itu.

"Iya kah? Kan cuma naik 3ons", kata ibunya.
"Iya, kalau bayi di atas 3 bulan, naiknya memang tidak se drastis saat bayi masih 1, 2 dan 3 bulan. Ini sudah naik artinya ASI nya bagus, bu", ahli gizi menjelaskan kepada ibu yang masih heran dan tidak percaya.
Efeknya apa? Setelah mendengar penjelasan ahli gizi, si ibu jadi percaya diri lagi.

Kecil tidaknya anak menurut ukuran mata kita bukan patokan. Mungkin saja ASI nya berefek ke daya tahan tubuh, atau ke otaknya (*biar pintar), atau ke pipinya 😂. Iya, bayi itu dari segi badan memang terlihat biasa-biasa saja. Tapi pipinya gembul, maasyaallah, perkembangannya sesuai dengan perkembangan anak yang normal, ia juga aktif, lalu apakah hanya karena kecil nya ia hingga kita mengabaikan hal positif lain dari si bayi?

Jadi stop menjudge atau menilai orang menurut kita. Stop juga untuk berkata-kata yang seharusnya tidak perlu untuk dikatakan.

Hanya kata-kata... Betul.

Bukankah syarat masuknya seseorang ke dalam Islam itu hanya dengan kata-kata?
Bukankah seseorang yang meninggal yang mengucapkan kalimat "laa ilaha illallah" itu adalah salah satu ciri husnul khatimah, dan kalimat itu hanya kata-kata?
Bukankah hubungan seorang laki-laki dan perempuan akan sah hanya dengan kata-kata? 
Bukankah jatuhnya talak seorang suami juga hanya dengan kata-kata? 

Hanya kata-kata, tapi dalam alquran begitu banyak perintah untuk menjaga sumber kata-kata ini.

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” [Al-Ahzab : 58]

Sinjai, 24 November 2018



Kamis, 22 November 2018

Seni Berinteraksi

Bismillaah..

Hannan, yang bersekolah di TK, setiap kali pulang sekolah, selalu bilang ke saya, "Ummi, besok nda mauka ke sekolah nah, karena ada temanku nakal, suka mengganggu, dll, dll, tapi kalau besoknya, sekolahma lagi."
Setiap hari, setiap lagi ngantuk, setiap lagi capek atau lapar, pasti itu yang dia bilang. Sampai saya terkadang bosan sendiri mendengarnya dan mengiyakan saja setiap apa yang ia katakan. Tapi herannya, setiap pagi pula saya membangunkan dan menanyakan apakah ia mau sekolah hari itu atau tidak, ia selalu mengiyakan.

Pun hari ini, sedari pagi, saya sibuk berchat ria bersama dua pegawai yang bertugas di Makassar. Mereka punya masalah yang sama dengan Hannan, hingga akhirnya hampir saja membuat mereka menyerah dan ingin melambaikan tangan pada saya.

Masalah. Memang tiap hari pasti ada. Apalagi jika kita berinteraksi dengan orang lain, yang sifatnya tentu akan berbeda dengan kita. Intinya, saling memahami, banyak mengalah dan komunikasi.

Saling memahami, karena kita manusia, punya sifat dan karakter yang berbeda. Kita tidak bisa memaksakan kamu harus seperti yang saya minta. Pun dengan kamu yang juga tidak bisa memaksa saya untuk menjadi seperti apa yang kamu mau. Selama sifat kita masih dalam koridor kewajaran, dibutuhkan saling memahami satu sama lain.

Banyak mengalah. Iya, kalau semuanya mau menang sendiri, semuanya merasa benar sendiri, pasti gak bakal ketemu. Mengalah bukan berarti kalah, tapi bagaimana membuat situasi dan kondisi kembali kondusif.

Komunikasi. Ini penting. Diam itu emas, katanya. Diam itu baik, iya. Tapi diam juga tidak bisa menyelesaikan masalah. Coba komunikasikan, coba tanyakan, coba keluhkan satu sama lain. Insyaallah akan ada jalan keluarnya. Seperti yang Allah sebutkan dalam alqur'an,

وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” [Ali-Imran/3 : 159]

Sinjai, 22 November 2018

Rabu, 21 November 2018

Ketika Komitmen Diuji

Bismillaah...

Seringkali, untuk melakukan suatu kebaikan, ada ada saja hambatan dan rintangannya.

Menuntut ilmu misalnya. Jika di hari lain, urusan begitu mudahnya, mengapa pas jika bertepatan dengan hari dimana jadwalnya kita bermajelis, ada-ada saja halangannya.

Anak sakit, diri sendiri yang sakit, keluarga yang sakit, tidak ada kendaraan, cuaca tidak bersahabat, dan beribu alasan lainnya. Semuanya adalah takdir Allah. Namun, adakalanya, mereka bisa diminimalisir.

Memaksa diri adalah pilihan paling tepat. Kebaikan memang awalnya dipaksakan. Kedepannya, jika rutin dan selalu memaksakan diri, lama-lama akan menjadi kebiasaan.

Memang, tidak ada kebaikan yang tidak memiliki rintangan. Bukankah ganjaran yang didapatkan nantinya juga tidak main-main? Syurga!


Sinjai, 21 November 2018
*hujan keras, tidak ada kendaraan, tidak ada yang jaga anak2 dan kondisi kurang fit
😟😟😟
qaddarullaah wa maa sya'a fa'al

Selasa, 20 November 2018

Tak Ada yang Kekal

Bismillaah...

Mengapa harus bersedih?
Untuk sesuatu hal yang sifatnya duniawi

Hari ini, kita mungkin merasa hampa
Kenangan indah yang terputar otomatis di pikiran
Ingin rasanya terulang kembali
Di dunia?
Mungkin tak akan bisa lagi

Hari ini, kita hanya menunggu
Beramal dan terus beramal, hingga kita bisa kembali melakoni
Semua kenangan baik itu
Di tempat yang terbaik
Di akhirat yang abadi


***

Hari ini, membawa anak-anak liburan ke toko. Hanya sekedar menyenangkan mereka setelah sepekan sibuk dengan urusan sekolah dan permainan rumahan. Hanya sekedar mengizinkan mereka menikmati wifi gratis. Iya, mereka memang bukan anak-anak yang hari-harinya diisi dengan segala aktivitas berbau kuota. Mereka jauh dari sesuatu yang kebanyakan orang justru menikmatinya.

Bukan tak mau atau tak pernah. Mereka pernah menjadi anak yang seharian full hanya pegang hp, bermain game, dan hanya duduk menikmati layar hp. Setelahnya apa? Hampa.
Hingga akhirnya, di akhir kehidupan suami, beliau berpesan kepada saya, "Jangan biarkan anak-anak main hp nah".

Hari ini, saya mengizinkan. Toh, hanya sehari, itupun cuma 5 jam. Dan ternyata, mereka juga tidak betah. Mereka lebih memilih bermain dengan mainan mereka yang telah lama disimpan di gudang toko. Dulu, sengaja kami menyimpannya di toko karena aktivitas kami sehari-harinya kebanyakan disini.

Di saat anak-anak bermain, saya, walau memegang full hp, walau sibuk promo sana sini, rasa-rasanya tetap dihampiri dengan segala kenangan tentang beliau -rahimahullah-. Kadang membayangkan kalau beliau masih ada dan sebentar lagi akan menjemput kami untuk jalan-jalan menyusuri kota Sinjai. Tapi itu tak mungkin terjadi.

Kembali lagi berharap pada Allah, semoga Allah kembali mempertemukan kami sekeluarga di Jannah, tempat yang kekal abadi, tempat yang lebih indah dari tempat terindah yang ada di dunia. Aamiin

مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ
Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (QS. An Nahl: 96)

Minggu, 18 November 2018

Kebaikan di Kehilangan

"Ada kebaikan di setiap kehilangan
Tetaplah tenang
Jika bersama Rabb, yang abadi takkan hilang"

Setiap ujian yang menimpa, atau masalah yang datang, Insyaallah akan selalu ada kebaikan dibaliknya.
Jika hari ini kita belum menemukannya, tunggulah
Kelak, kau pasti akan tahu, betapa Allah sangat menyayangimu dengan memberikan ujian atau musibah itu.

Dulu, ketika nikmat itu masih melekat pada diri, kita terlena.
Ya, kebanyakan manusia memang agak sulit menguasai diri ketika diberi ujian berupa nikmat, hingga terkadang sampai melupakan Rabb, sang maha Pemberi.
Hingga akhirnya, Allah mengambil kembali, Allah mencabut nikmat itu, barulah kita tersadar.
Iya, kalau tersadar, berarti Allah masih ingin kita kembali.
Entah apa jadinya jika diberi ujian, masih saja lupa untuk kembali padaNya.

Waktunya untuk memperkuat kesabaran
Semoga kehilangan itu dapat menghapus dan juga menghilangkan dosa-dosa kita.

Allah suka jika kita kembali pada-Nya
Dulu, kita lalai
Hari ini, kita harus teringat, kita harus kembali
Mendekat kepada Allah, merintih dan memohon
Agar kita diistiqomahkan dalam ketaatan
Agar kita selalu ingat Allah dan Allah ingat dan jaga kita
Agar kelak, Allah merahmati kita dan berkenan menempatkan kita
Di syurga, impian seluruh hamba yang beriman


Hanin Athifah, 5 Bulan



Bismillaah...

Dear Hanin...
Tak terasa, nak, usiamu kini sudah 5 bulan.
Engkau sudah mahir tengkurap, lalu kembali lagi berbaring.
Hari ini, engkau belajar mengangkat badan, persiapan untuk duduk lalu merangkak.
Hari ini, engkau sudah bisa mengoceh, walau belum jelas
Engkau juga sudah mengenali sesiapa yang berada di hadapanmu
Jika ia lelaki, terkadang engkau memilih
Jika ia bersuara besar, engkau pasti menangis ketakutan

Jika ummi masih ada di pandanganmu, matamu tak lepas memandangnya
Seakan berkata, "Ummi mau kemana? Jangan tinggalkan saya bersama orang-orang ini".
Jika ummi ada di sampingmu, engkau kelihatan aman
Tak peduli seberapa usil orang-orang di sekitarmu

Athifah-ku...
Tak terasa, nak, waktu berlalu begitu cepat
5 bulan yang lalu engkau masih tak bisa apa-apa, hanya tidur atau terbangun saat lapar
Hari ini, waktu tidurmu sedikit demi sedikit mulai berkurang
Rasanya ingin menahan waktu, agar engkau masih seperti ini
Bayi kecil ummi yang sabar dan tak pernah menyusahkan
Penghapus duka dan penyejuk mata bagi kami semua

Hanin Athifahku...
Tumbuhlah menjadi anak sholehah
Jika hari ini badanmu "katanya" kecil
Semoga kelak amalanmu besar di mata Allah, nak
Tetap menjadi qurrotu a'yun buat kami semua


Sinjai, 17 November 201i

Sabtu, 17 November 2018

Kita Kemarin, Kita Hari Ini

KITA KEMARIN,
KITA HARI INI...



Kemarin bahagia, hari ini sedih.
Kemarin kaya, hari ini miskin papa.
Kemarin berkuasa, hari ini tanpa daya.
Kemarin tertawa, hari ini tersedu-sedan.

Kemarin teranugrahi, hari ini kehilangan.
Kemarin berjaya, hari ini terpuruk.
Kemarin pemenang, hari ini pecundang.
Kemarin penuh cukup, hari ini penuh kurang.

Kemarin kekenyangan, hari ini kelaparan.
Kemarin dalam istana, hari ini di emper jalan.
Kemarin berkendara, hari ini menapak jalan.
Kemarin makan apa saja, hari ini tak tahu makan apa.


Begitulah hidup bersilih kisah.

Tak mengapa, Kawan...
Yang penting:
Saat kemarin itu kau beriman,
hari inipun kau tetap beriman.
Kemarin itu kau bersujud padaNya,
hari inipun tetap bersujud padaNya.
Dan jika kemarin "terpaksa" penuh dosa,
hari inipun bertaubatlah segera.

Biarlah bagaimana juga
kisah hidup akan berjalan,
asalkan hati tetap terikat
sepenuh-penuh jiwa
padaNya sahaja...
Tidak pada selainNya.

Karena itulah kisah hidup kita selalu:
berkelindan antara sabar dan syukur.
Dua mutiara itu yang buat hidupmu kemilau.

Duhai,
betapa menakjubkan engkau, wahai Sang Mu'min...
jika nikmat mengucur indah, kau bersyukur.
saat musibah menghiasi, kau bersabar.

Rabbana,
jadikan aku sebagai mu'min yang menakjubkan itu!


Akhukum,
Muhammad Ihsan Zainuddin