Kamis, 23 Oktober 2008

Hari Ini, Sudahkah Anda Berdoa?

Dalam seluruh kisah hidup kita, kita adalah sekumpulan hamba yang lemah dan fakir. Kita lemah, karena kita seringkali tidak mengerti apa yang terbaik untuk hidup kita. Bersyukurlah Allah mengutus para Rasul membawa panduan ilahi untuk menunjukkan jalan keselamatan itu. Meski demikian, kita toh lebih sering tidak mengerti (atau tidak mau mengerti) bahwa yang terbaik untuk hidup kita adalah menjalankan seluruh panduan ilahi itu. Buktinya, di tengah petunjuk dan panduan ilahi yang jelas itu, kita lebih sering mengikuti dorongan nafsu yang keji.

Kita lemah, karena kita tidak tahu bagaimana jadinya jika Allah Ta’ala melepaskan seluruh nikmat yang selama ini ia berikan kepada kita. Jika saja Allah mencabut nikmat kesehatan dan kesadaran berpikir dari diri ini. Jika saja Allah mencabut satu per satu fungsi tubuh kita. Jika saja Allah mencabut satu demi satu nikmat-nikmat penunjang kehidupan ini: udara, cahaya, air, dan yang lainnya.

Dan yang sungguh mengerikan, seperti apa hidup ini jika saja Allah mencabut nikmat hidayah dari hati kita yang lemah ini. Duhai Allah, jangan pernah itu terjadi dalam hidup kami…

Karena itu semua, kita sungguh fakir kepada Allah. Dalam seluruh sisi kehidupan ini, kita sangat fakir kepada-Nya. Namun, banyak manusia yang tidak menyadari ini; menyadari kelemahan dan kefakiran mereka kepada Allah. Namun bagi para ahli Tauhid, kefakiran pada Allah adalah sebuah kekuatan. Semakin dahsyat seorang hamba menunjukkan kefakirannya pada Allah Ta’ala, maka semakin dahsyat kekuatan sang hamba menjalani kehidupannya. Sebaliknya, semakin berlagak seorang hamba-bahwa ia tidak fakir kepada Rabbnya-, maka semakin terhina dan lemah dirinya menjalani hidup yang singkat ini.

Itulah sebabnya, inti kekuatan seorang hamba sesungguhnya terletak pada bagaimana ia membuktikan eksistensinya sebagai hamba yang lemah dan fakir di hadapan Dzat yang menguasainya. Mengapa? Sebab itu berarti sang hamba mengakui keMahaperkasaan dan keMahakuasaan Allah. Jika sudah demikian, maka kekuatan dari Yang Mahakuat akan mengalir dan terlimpahkan kepadanya di sepanjang usia.
Maka di sinilah inti pengulangan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in di sepanjang hari seorang muslim. Demi mengingatkan jiwa-jiwa kita sekalian: betapa pengakuan kehambaan haruslah seimbang dengan permohonan dan permintaan tolong kepada Sang Penguasa jagat raya. Dalam kisah kefakiran sang hamba, meminta tolong kepada Allah Ta’ala adalah hal yang mutlak. Dan-sekali lagi-bukan wujud kehinaan. Ia adalah jalan kemuliaan.

Antumul fuqara’ ilallah. Kalianlah yang fakir kepada Allah. Sudahkah kita membuktikan bahwa kita mengakui kefakiran kita pada-Nya? Sekali lagi, satu-satunya jalan untuk mendapatkan pertolongan, ‘inayah dan taufiq-Nya hanyalah dengan merendah serendah-rendahnya dan menghinakan diri sehina-hinanya di hadapan Allah Ta’ala.

Baiklah, mungkin kita akan mengawali pembuktian itu secara sederhana saja. Yah, sangat sederhana, sehingga kita seringkali melalaikan dan meremehkannya. Sudahkah Anda berdoa hari ini? Oh, tidak. Bukan doa dan dzikir yang Anda baca dalam shalat fardhu. Tapi berdoa dalam pengertian ketika Anda benar-benar merasa kekurangan sesuatu atau menginginkan sesuatu yang tak tersebutkan dalam shalat itu.

Pernahkah di suatu pagi, ketika Anda ingin sarapan, lalu tidak menemukan apa-apa, kemudian Anda menengadahkan tangan memohon pada-Nya?

Pernahkah di suatu pagi, saat Anda tergesa ke kantor atau ke kampus, dan tiba-tiba ban kendaraan Anda meletus; pernahkah Anda berhenti sejenak untuk mengucapkan: “Ya Allah, mudahkanlah urusanku, tambalkanlah ban kendaraanku yang bocor ini”?

Pernahkah di suatu sore, ketika tiba-tiba anak Anda demam, lalu Anda memohon dengan khusyu’: “Ya Allah, Dzat yang Maha menyembuhkan, sembuhkanlah anakku ini”?

Benar sekali. Dalam hal-hal yang remeh seperti ini, kita sering lupa untuk berdoa dan meminta kepada Allah. Apakah karena kita ingin mendapatkan solusi sekejap mata dan kita menganggap “tidak ada gunanya” berdoa untuk hal semacam itu karena “biasanya” tidak segera dikabulkan? Wal ‘iyadzu billah. Sungguh kelihatannya begitu halus. Tapi cara pandang seperti ini bukankah sering menjadi “aqidah” kita terhadap doa? Wallahul musta’an.

Ibn Rajab al-Hanbaly dalam Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, pernah mengisahkan bahwa seorang ulama salaf bahkan berdoa dan memohon kepada Allah-saat tali sendalnya putus-agar Ia berkenan menyambungkan tali sandal itu. Bukankah ini begitu remeh? Tapi bagi para salaf, pengabulan doa itu mungkin menempati urutan kesekian, sebab prioritas utama mereka dalam kondisi semacam ini adalah bagaimana membuktikan Tauhid mereka kepada Allah. Bahwa jiwa dan raga mereka sepenuhnya bersandar penuh kefakiran pada Allah Rabbul ‘alamin, di setiap waktu dan tempat. Yah, dan hanya itu obsesi dari setiap doa mereka. Itulah sebabnya ‘Umar ibn al-Khathab radhiyallahu ‘anhu pernah pula mengungkapkan:

“Sesungguhnya (dalam berdoa), aku tidak pernah membawa obsesi pengabulan doa itu, namun yang menjadi obsesiku adalah doa itu sendiri.”

Subhanallah. Beliau tak peduli apakah doa itu segera dikabulkan di dunia ini atau tidak. Karena yang penting, di saat memanjatkan doa-sekecil apapun-, ia telah membuktikan penghambaan dan kefakirannya di hadapan Allah. Bukankah doa itu adalah ibadah?

Nah, saudaraku, hari ini, sudahkah kita berdoa?

Abul Miqdad al-Madany

(sumber: abul-miqdad.blogspot.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar