Senin, 29 Desember 2008

SEPUCUK SURAT UNTUK SAUDARAKU

Tanpa terasa, tahun 1429 Hijriah telah berakhir. Tak kita dengar tiupan terompet atau aneka acara seperti penyambutan tahun baru masehi. Dan itu menambah kesyukuran kita, karena budaya seperti itu bukanlah tradisi Islam.

Subhanallah, bagi umat Islam tahun baru ini merupakan moment paling tepat untuk menengok serta mengulas balik beragam peristiwa setahun lalu, sebagai salah satu langkah menata masa depan gemilang dalam ridha dan kasihNya.

Dan muhasabah atau introspeksi diri merupakan cara terbaik mendeteksi sejauh mana hasil yang telah kita tempuh tanpa melupakan kesalahan-kesalahan yang kita lakukan.

Karena itu, sepucuk surat terbuka nan sederhana ini semoga mampu menggugah perasaan kita… untuk selalu mendekatkan diri pada-Nya.

Saudaraku seiman…
Pernahkah kita merenungi di usia yang kian menanjak dan berkurang ini, bagaimana dan apa saja yang telah kita lakukan dalam menghabiskannya?

Atau apakah kita termasuk dalam kategori orang yang merugi yang mengisi hari demi hari penuh kesia-siaan? Masihkah di hari-hari yang sarat beban dan tuntutan ini kita tetap menyempatkan diri berfikir dan bertanya dalam hati, apakah kita telah memenuhi hak-hak Allah sebagai satu-satunya yang patut kita sembah, takuti, harapkan dan kita cintai?

Sudahkah kewajiban sebagai hamba kita taati sebaik mungkin dan penuh keikhlasan?
“Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam” (Qs. Al-An’am : 162)

Wahai saudaraku…
Sholat yang kita jalankan, sudahkah semata-mata hanya untuk-Nya? Sudahkah kita mampu menghadirkan hati dan jiwa dalam setiap gerak dzikir sholat kita? Karena boleh jadi sholat itu hanya menjadi ibadah rutinitas yang hampa tanpa kesan membekas sehingga tidak mampu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.

Padahal “sholat” itu adalah miniature bahwa beginilah seharusnya kehidupan seorang hamba. Setia, taat dan ikhlas serta menyerahkan diri dan jiwa pada keagungan-Nya dalam setiap aspek hidup dan kehidupan yang semuanya mesti bernilai ibadah dan dzikir. Maka, mengapakah ketika sholat kita menutup seluruh aurat rapat-rapat, namun ketika berhadapan dengan manusia kita memamerkannya? Apakah manusia tidak bernafsu? Berfikirlah, saudaraku…

Betapa banyak ni’mat yang dicurahkan oleh Allah Yang Maha Penyayang pada kita, pada makhluk dan hamba-Nya. Begitu banyak yang bisa kita rasakan, kita lihat, kita dengar, atau kita lakukan dengan kelengkapan instrumen yang diberikan oleh-Nya. Apakah semua itu telah dan selalu kita syukuri? Ataukah luput sama sekali dari perhatian kita? … Karena kita tidak menggunakan pada jalan-Nya, atau bahkan melalaikannya!

Saudaraku seaqidah…
Adakah kenikmatan dunia terlalu melenakan sehingga kita merasa enggan memenuhi perintah dan menjauhi larangan Allah Yang Maha Penguasa secara sungguh-sungguh?

Ingatlah! Kita hidup di dunia ibarat pelayar yang mengarungi lautan menuju suatu pulau abadi. Bila telah sampai di tempat yang dituju, lautan, kapal dan isinya akan kita tinggalkan.

Begitupun saat perjanjian kita dengan Allah berakhir, maka tak ada yang bisa menghalangi atau menundanya. Dunia akan ditinggalkan, dan kita hanya membawa amalan-amalan selama hidup di dunia.

Nah, jikalau amalan kita hanya sedikit, lalu yang mendominasi adalah dosa-dosa, bagaimanakah kita menghadap pada-Nya dengan tenang? Apa yang akan kita jawab manakala pertanyaan demi pertanyaan diajukan pada kita? Lalu siapkah kita menanggung balasan adzan akibat menyimpang dari perintah Allah? Karena sesungguhnya adzab itu amat pedih… amat sakit… dan amat keras! Itulah janji Allah subhanahu wata’ala pada hamba-hambaNya yang ingkar dan membangkang!

Bila demikian, apakah kita ingin termasuk dalam kategori hamba yang tidak patuh? Tentunya tidak!

Karena itu, sekarang marilah kita tengok hati kita. Jauhkan segala macam penyakit kotor, dengki, iri, sombong, riya’, lalai, rakus, serakah, putus asa dan cinta dunia berlebihan. Kita hiasi dengan mutiara suci, ikhlas, jujur, tawadhu’, penyayang, zuhud, optimis dan tawakkal terhadap rahmat Allah. Mari kita tundukkan diri dan jiwa sepenuhnya di hadapan-Nya. Kita mulai memperbaiki niat dan langkah dalam mencapai ridha Allah… menggapai cinta dan kasih-Nya serta ampunan yang Mahaluas.

Sebelum datangnya huru-hara, hari kiamat yang pasti datang. Dimana, tiada seorang pun yang mampu menolong orang lain, bahkan dirinya sendiri sekalipun.

Semua manusia akan dikumpulkan, saat-saat mendebarkan berikutnya segera menyusul. Allah memanggil nama kita satu persatu dan menyerahkan raport selama masa hidup di dunia. Kita tidak tahu, apakah kita menerimanya dengan tangan kanan ataukah tangan kiri. Lalu kita akan dihisab, kita juga tidak tahu, timbangan amal kebaikan atau keburukankah yang lebih berat. Pun kita juga tidak tahu bagaimana menyeberangi titian Shirathal Mustaqim, apakah kita bisa selamat tiba di tujuan atau terlempar ke neraka?

Ukhtifillah… bergegaslah segera menginvestasi amalan sholeh, karena hanya itu yang akan menolong kita, saat semua orang tak mampu memberi pertolongan sekecil apapun.
“Dan ikutilah sebaik-baiknya apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum diturunkan adzab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tiada menyadarinya. Supaya jangan ada orang yang mengatakan amat besar penyesalanku atas kelalaianku (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang yang memperolok-olok (agama Allah). Atau supaya jangan ada yang berkata, sekiranya Allah memberi petunjuk kepadaku, tentulah aku termasuk orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Az-Zumar : 55-57).

Nah, tunggu apa lagi Ukhti?...
Segeralah bertaubat dan mohon petunjuk-Nya. Semoga Allah melindungi kita semua. Amin…
Wallahu a’lam bishowab.

(dari lembaran da’wah akhwat An-Nisaa’)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar