Sabtu, 23 April 2016

Baby Blues dan Post Partum Depression

Kepada para suami, dimanapun kalian..

Perkenalkan, saya Topan Pramukti, bapak satu anak yang pernah menyaksikan istri berjuang melawan Post Partum Depression. Pernah dengar? Saya tidak akan menjelaskan secara teori, di sini saya hanya ingin memohon agar kalian duduk sebentar, luangkan waktu barang 10 menit untuk membaca cerita saya ini sampai habis. Saya mohon.

Namanya Bunga, seorang teman saya yang tentu bukan nama sebenarnya. Beberapa waktu lalu ia melahirkan anak pertamanya. Kalau kalian pikir dia sekarang sedang di puncak bahagia, kalian salah. Hari-harinya, saat ini, dilalui dengan penuh air mata dan rasa cemas. Berkali-kali dia harus melawan dirinya sendiri, saat pisau di dekatnya kerap dia todongkan pada bayinya. Berkali-kali pula dia nyaris kehilangan nyawa, sebab baginya, pilihan hanya dua: dia atau anaknya yang mati.

Suaminya kemana? Ada. Mereka tinggal satu rumah dan tidur satu ranjang. Hubungan mereka baik-baik saja dan keluarga mereka (kelihatannya) normal dan bahagia. Tak ada masalah, tak pula ada orang ketiga. Ekonomi keluarga sedang berada di titik baik, pun kesehatan, semua baik.

Namun Bunga tetap meneteskan air mata setiap hari, dia tetap sesungukan, menangis, dan butuh pertolongan. Ibu muda itu sebisa mungkin menghindarkan pandangannya dari pisau atau benda tajam apapun, karena bisikan jahat itu bisa datang kapanpun dimanapun. Bunga selalu tidur membelakangi bayinya, karena untuknya, berhadapan adalah drama berujung histeris semalaman.

Bunga gila, ya? Bukan.. Dia adalah ibu yang menderita Post Partum Depression.

Cerita lain datang dari Lala, lagi-lagi bukan nama sebenarnya. Satu dari lusinan perempuan yang menjadikan istri saya, tempat mencari pertolongan. Saya tak pernah mengenal perempuan ini, seperti saya tak pernah mengenal perempuan-perempuan pencari pertolongan lain yang berderet di daftar kontak hape istri saya. Yang saya tau, ada seorang ibu muda tiba-tiba menulis pesan pada istri saya di twitter. Meminta nomer hape karena dia butuh diselamatkan. Satu alarm yang membuat istri saya langsung memberikan kontak padahal belum kenal: dalam pesannya dia menyebut-nyebut Post Partum Depression.

Singkatnya, Lala dan istri saya berkomunikasi lewat aplikasi whatsapp. Lala mengaku sering mendapati tubuhnya membiru, dingin, dan gemetar. Dia seperti mau mati, katanya. Lala takut keramas, dia cemas saat bilas matanya harus tertutup, membuka mata dalam keadaan tak bernyawa. Lala takut keluar rumah, takut mati di jalan. Lala takut ketemu orang baru, takut dibunuh.

Lala gila, ya? Bukan.. Dia sama seperti Bunga, seorang ibu yang menderita Post Partum Depression.
Lala dan Bunga bukan cuma ada dua, mereka banyak. Istri saya kerap salah menyebut nama saking banyaknya yang harus diladeni curhat. Saking banyaknya yang tiba-tiba menelpon sambil menangis jerit-jerit. Padahal sederet nama di kontak hape kami, hanya yang diantar takdir untuk menemukan kami, sebagai sebut saja: penyintas Post Partum Depression.

Lala dan Bunga punya satu kesamaan, mereka merasa gila dan tak ada seorangpun yang peduli dengan itu. Termasuk suami. Orang yang setiap hari ada di samping mereka, satu-satunya manusia yang mereka harapkan dapat mengerti kondisi mereka, bergeming tak peduli. Mereka melawan sendirian, berjuang sendirian.
Dua setengah tahun yang lalu, istri saya adalah Lala dan Bunga. Ia pernah nyaris membunuh bayi kami. Dia, pernah hidup berhari-hari di kolong kasur karena takut mati. Saya, pernah menganggapnya sakit jiwa. Saya pernah memilih diam tidak peduli. Ia pernah berjuang melawan Post Partum Depression, sendirian.

Tapi di tengah perjuangan, dia melawan dengan sangat keras. Dia mengumpulkan artikel-artikel tentang Post Partum Depression dan memberikannya pada saya, memohon agar saya membacanya seperti yang saat ini saya lakukan pada kalian.

Istri saya menekuk lutut, mengatupkan tangan, menangis, dan memohon sejadi-jadinya agar saya mau membaca dan memahami kondisinya saat itu. Karena dia tahu, hanya saya yang bisa membantunya berjuang melawan. Menurutnya, hanya saya yang mampu menyelamatkan nyawanya dan bayi kami.

Dia memeluk saya kencang, meminta setulus yang dia bisa, membasahi dada saya dengan air mata, membiarkan hati kami yang bicara. Saat itu, dia mungkin tahu, tak ada satu katapun yang dapat meluluhkan hati saya. Belum banyak pengetahuan soal Post Partum Depression beredar di masyarakat, tak ada banyak teori yang bisa dia sodorkan untuk saya. Di mata saya, dia sakit jiwa.

Dia cuma punya mata basah dan hati yang meluluh paling luluh, tanpa bicara dia memohon, dengan sangat. Hati tetaplah hati. Mata saya ikut basah, kami berpengangan tangan dan berjuang bersama-sama.

Kami, berdua, melewati hari-hari paling sulit. Saat dimana keuangan keluarga carut marut, bayi kami merindukan ibunya, pekerjaan yang menumpuk, dan istri yang terus hidup di kolong kasur sambil menangis menggerung-gerung. Kondisi istri saya semakin tak terkendali, sudah tak dapat dihitung berapa kali tinju yang dilayangkannya ke tubuh saya, tembok yang dipukuli, dan pintu yang dibanting.

Kami, berdua, menjalani titik rumah tangga paling rapuh. Andai saja saya memilih menyerah, mungkin saat ini kami tak lagi bersama. Mungkin istri atau bayi saya sudah pergi menghadap Gusti, atau kami bertiga sedang menjalani hidup masing-masing yang entah seperti apa hancurnya. Andai saja waktu itu saya memilih menyerah, tetap tidak peduli, rumah tangga kami berakhir sudah.

Kepada para suami, dimanapun kalian..

Post Partum Depression adalah serangan depresi yang menyerang ibu paska melahirkan. Pintu masuknya, adalah depresi yang lebih ringan, atau terkenal dengan nama Baby Blues. Faktanya, 80 persen ibu yang baru melahirkan MENGALAMI BABY BLUES. Jadi mari kita simpulkan, bahwa Post Partum Depression sangat mungkin terjadi pada siapapun, termasuk istri-istri kalian.

Saya mohon, dengan sangat, kalau sampai itu terjadi, tetaplah di sana. Tetaplah di sisi perempuan yang kalian ikat dengan janji suci, peluk dia, dan ikutlah berjuang. Bertahanlah, wahai para Ayah.. Saya bersumpah atas nama Tuhan, bahwa Post Partum Depression bukanlah hal yang mudah untuk dilewati sendirian. Perempuan yang memelukmu sambil berurai air mata, benar-benar butuh pertolongan.

Cari sebanyak-banyaknya artikel tentang depresi ini, konsultasikan pada dokter atau ahli, genggam tangannya erat, terus berjalan dan menangkan perjuangan. Semoga kita semua selalu sehat dan bahagia.

Salam,

Topan Pramukti
Sumber : www.sujiwo.com

===================================

Note:
Dulu, saya pun pernah mengalaminya. Tapi Alhamdulillaah gak sampai ke Post Partum Depression, gak sampai menyakiti diri atau debay. Saya alami ketika lahiran anak kedua. Waktu itu belum tau kalau ternyata ada yang namanya kayak gini. Waktu itu, saya mengira hanya saya yang mengalaminya. Pas buka facebook, di beranda penuh, dan hampir semua yang share mengatakan pernah mengalaminya. Owh...

Saya, waktu itu, setelah lahiran, betul-betul merasa terpuruk. Maunya cuma nangis. Menangis 2 harian penuh sampai mata super bengkak. Rasa-rasanya, saya tak bisa membagi rasa sayangku kepada anak pertama. Belum lagi dukungan keluarga dekat yang sangat kurang. Merasa dicueki, walau memang tak berharap selalu diperhatikan. Sama suami juga dibilang "Lebay, Menangis Tak Jelas, gak ada yang apa-apain tiba-tiba menangis". Jadilah saya betul-betul merasa sendiri. Sendiri berjuang menghadapi baby blues sembari memohon pertolongan Allah agar segera melalui ujian ini.

Betul. Dukungan yang paling utama memang harus berasal dari keluarga sendiri, terutama SUAMI. Ya, Suami yang harusnya mendukung ibu baru dengan memberi perhatian lebih, memberi kasih sayang, membantu sedikit saja pekerjaan si ibu baru. Jangan dianggap Lebay, apalagi gila. Kasian!

Suami, terkadang memang tak tau. Maka dari itu butuh ILMU. Yang parah adalah ketika suami tak MAU tahu. Ini parahnya kebangetan. Membiarkan istri membereskan pekerjaan sendiri, menyusui bayi, merawat dan sampai begadang menemani dede bayi. Suami? Cuma tau beres. Pergi kantor pagi, pulang larut malam. Pas malam, si dede nangis, dan ia merasa terganggu. Nah, kayak gini ini nih yang namanya MUSIBAH. Bisa-bisa rumah tangga retak, atau bisa saja si istri atau anak terancam nyawanya. Naudzubillaah..

Sinjai, 24 April 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar