Minggu, 12 Januari 2020

...PAZ... (2)

Bismillaah...

Kembali ke alquran dan sunnah dalam hal apapun adalah mutlak dan harus, termasuk dalam hal pengobatan. Begitupun PAZ ini, yang intinya adalah perbaikan sistem tubuh, pun mengacu ke alquran dan sunnah. Ketika patokan kita Qur'an dan Sunnah, maka harus langsung kita terima tanpa dipikir-pikir dulu. Istilahnya, terima dulu lah, jangan banyak mikir.

Teori PAZ tidak berpatokan pada vonis dokter dan tidak mengenal jenis penyakit yang banyak beredar di kalangan medis. Inti dari PAZ sendiri ketika kita ingin terapi adalah, keluhanmu apa? Sakitnya yang mana? Barulah bisa didiagnosis gerakannya seperti apa. Jadi tidak semua orang berpenyakit sama, gerakannya juga sama, karena tiap orang itu berbeda (unik).

PAZ tidak menggunakan alat, dimana saja bisa digunakan. Berbeda dengan medis yang misal mau meng"operasi", sangat tergantung dengan listrik. Teori PAZ tidak seperti itu dan betul-betul dipersiapkan untuk masa dimana fasilitas teknologi tidak berguna lagi (hilang). Sangat berguna untuk siapa saja yang ditugaskan di daerah terpencil.

PAZ kurang efektif jika ditangani secara online (walaupun bisa). Harus bertatapan langsung antara pazien dan terapisnya. Berbeda dengan medis yang terkadang, kita hanya nelpon dokter, mengeluh sakit ini lalu disuruh minum obat itu.

PAZ tidak meniadakan herbal, karena PAZ sendiri adalah perbaikan system untuk mengoptimalkan kerja input (ex: herbal, makanan, dan sesuatu yang dimasukkan ke tubuh).

Intinya, saya puas dan sangat bersyukur bisa ikut pelatihan kemarin. Biaya yang masyaallah, rasanya tidak sebanding dengan ilmu/hidayah yang saya dapatkan. Walaupun di medsos banyak bertebaran tentang teori PAZ ini, sangat berbeda jika kita belajar langsung (bermajelis) dengan penemu dan orang-orang yang sudah belajar duluan. Disinilah saya menyadari pentingnya mendatangi majelis ilmu, tidak memanjakan diri dengan fasilitas teknologi karena keberkahan majelis tidak akan didapatkan hanya dengan memandang layar hp (ceramah online).

Keterampilan dasar juga alhamdulillaah ada, setidaknya, saya sudah bisa ~Insyaallah menterapi diri sendiri dan anak-anak ketika sakit.

Pengalaman pertama adalah menterapi diri sendiri, sepekan setelah ikut pelatihan, menjelang akhir liburan dan siap-siap untuk balik ke kampung. Waktu itu rasanya gak enak, seperti mau demam, kepala berat, tenggorokan sakit, badan agak hangat tapi rasanya dingin (meriang). Memikirkan esok hari yang harus beraktivitas lebih padat dari hari sebelumnya, menambah sakit kepala menjadi lebih.

Anak-anak lagi kumpul di kamar, langsung saja dimanfaatkan untuk pegang dua kaki dan menahan kepala (CU). Baru kali itu CU nya agak maksimal. Alhamdulillaah langsung terasa. Karena gak percaya, saya berdiri, lompat2 sekalian UB. Biidznillaah, sembuh. Tadinya kepala berat sekali dan harus istirahat (tidur), akhirnya segar lagi 😂. Tadinya juga terasa dingin hampir menggigil, alhamdulillaah normal kembali. Esoknya, alhamdulillaah bisa beraktivitas kembali seperti tidak terjadi apa-apa semalamnya. #pazstory

Sebenarnya, sebelum menerapi diri sendiri, saya juga sudah praktekkan ke Faqih. Waktu itu tenggorokannya sakit, kalau menelan sakit sampai tidak bisa makan. Jadi saya terapi pisang tekan, SU dan ub 2.0. Alhamdulillaah walau belum normal, sakitnya agak berkurang dan setidaknya sudah bisa makan katanya. #pazstory

Kembali lagi ke hadits, "Semua penyakit itu ada obatnya, kecuali tua dan mati". Maka usahakan lah setiap pengobatan kita kembali ke pengobatan yang berlandaskan quran dan sunnah. Dan selalu-lah berkeyakinan, bahwa Allah lah yang maha penyembuh. Adapun terapi, obat ataupun herbal hanyalah salah satu ikhtiar.

Maka sebelum berikhtiar, mintalah dulu sama Allah agar diberi kesembuhan, kemudian berikhtiarlah dengan cara yang diridhoi Allah, bukan dengan jalan yang salah apalagi sampai harus menggadaikan iman dan aqidah kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar