Selasa, 18 Juni 2024

Diam 🥺

Bismillaah...

***

KETIKA ISTRIKU DIAM

Kepalaku berdenyut, ia terus mengoceh dengan kalimat tak bertitik. Entah kapan istriku akan lelah dan berhenti.

"Kamu tau nggak ini sudah jam berapa?! Apa nggak bisa ngabarin dulu kalau bakal pulang larut?! Apa susahnya nelpon atau chat?!" suara Mia meninggi. 

Aku melirik sekilas ke jam dinding yang berada di dapur, pukul setengah dua dini hari. Aku lupa waktu, saat kumpul dengan teman sekantor, di rumah salah satu rekan kerja yang berulang tahun hari ini, bahkan tak mendengar gawaiku berbunyi saat Mia menelpon berulang kali karena hiruk pikuk pesta.

"Udahlah, Ma ... Papa 'kan udah pulang sekarang." Aku berusaha melerai. 

"Segampang itu ya, Pa? Kamu mikirin nggak yang nungguin kamu di rumah perasaannya kayak apa?!" Mia semakin murka.

"Sudahlah! Aku bosen, kamu bisanya marah-marah aja, setiap hari ngoceh aja kerjaannya, masalah kecil jadi besar!!!" balasku ikut terbawa emosi.

Kedua pundaknya berguncang diiringi isak tangis. Mia menatapku penuh amarah.

"Ooh, selama ini kerjaanku cuma ngoceh aja? Jadi kamu ingin aku diam? Baik, mulai detik ini aku diam!" Mia meninggalkanku sendirian di dapur, masuk ke dalam kamar anak-anak.
Hening ...

---

Mia menepati ucapannya, sejak pagi tak kudengar ocehannya. Biasanya ia akan membangunkan anak-anak dengan sedikit teriakan, lalu menyuruh mereka mandi dan sarapan sebelum mengantar ke sekolah. Aku sedikit lega, mudah-mudahan istriku tak marah-marah lagi.

Sorenya, seperti biasa, Mia akan menyambutku pulang kerja dengan segelas teh hangat di teras depan, tapi hari ini tak kudengar sapaan yang rutin ia lontarkan padaku.

"Papa mau makan malam apa?"

"Kerjaan hari ini lancar?"

atau "Tadi makan siangnya lauk apa?"

Mia hanya diam, tapi tetap mengerjakan tugasnya seperti biasa.

"Uhuuk ... uhuuk ..." Aku mulai batuk, ketika mengerjakan tugas kantor di ruang kerja malam itu. 

Aku menoleh ke segala arah mencari sosok istriku, biasanya ia akan menghampiriku dan mulai bawel.

"Tuh 'kan batuk, Papa kalau dibilangin suka gitu, nggak pernah nurut, rokoknya dikurangi dong, Pa. Kalau batuknya sampai parah gimana? bla ... bla ... blaaa ..." seperti itu, tapi malam ini hanya segelas kopi yang menemani. Sepi ...

---

Hari kedua ...
Pagi ini kulihat kemeja sudah rapi disetrika dan diletakkan di atas tempat tidur seperti biasa. Mia masih diam seperti kemarin. Harusnya ia akan memaksaku menghabiskan sarapan dan teh madu dengan perasan lemon yang ia yakini dapat menyembuhkan batuk yang kerap kambuh saat malam tiba, tentunya dengan ocehan yang khas, tapi pagi ini Mia hanya diam. Ketika aku dengan sengaja menyisakan sarapan yang disajikan, ia pun tetap diam.

"Istriku emang nggak bawel, ia bahkan tak punya waktu mengurus rumah dan anak-anak karena sibuk dengan teman-temannya. Istriku malah sangat lihai menghabiskan gajiku." Bobi menggerutu ketika kami berada di kantin kantor saat jam istirahat. 

Beberapa rekan tertawa keras. Entah mengapa, mereka membahas masalah para istri di saat seperti ini.

"Kalian nggak tau aja, istri kalau masih ngomel-ngomel, itu artinya dia masih sayang dan peduli." Ifa menimpali seraya membela gendernya.

Aku hanya mendengar dan malas masuk ke dalam obrolan. 

---

Rasanya aku mulai tidak nyaman dengan diamnya Mia. Memasuki hari ketiga istriku diam, nyatanya berdampak juga kepada anak-anak.

Joe berbisik padaku. "Pa, tadi aku mecahin gelas, tapi Mama nggak marah lho. Mama hanya diam dan membersihkan kepingan gelas hingga jarinya berdarah. Kasian Mama ya, Pa?" matanya memerah hampir menangis.

"Nggak enak kalau Mama diam terus," lanjut Joe dengan getir.

Mungkin benar adanya ucapan Ifa siang tadi. Malam itu Mia murka, karena peduli dan khawatir menungguku sepanjang malam di rumah yang tak memberi kabar. Harusnya aku menelpon sebentar, tapi karena lupa yang dibalut keegoisan diri, aku malah merasa tak bersalah. 

Sekarang aku malah merindukan ocehan Mia yang khas, begitupun anak-anak. Dan anehnya, sejak Mia diam, seisi rumah terasa hampa dan senyap. Anak-anak tak lagi berisik seperti kemarin. Mereka malah tak perlu diteriaki lagi saat dibangunkan atau disuruh mandi. Semuanya terasa berbeda ketika Mia hanya berkata seperlunya, lalu kembali diam. Aku merasa bersalah dengan kalimat yang membuatnya terisak malam itu, ''... Kamu setiap hari ngoceh aja kerjaannya ..."

Padahal aku tau, bahkan seisi dunia tau, betapa Mia menghabiskan waktunya demi mengurus rumah tangga. Sejak pagi hingga malam, berkutat menjadi sosok istri dan ibu yang merangkap sebagai pembantu, guru, kadang malah seperti tukang bangunan saat aku tak berada di rumah. Semua ia kerjakan seorang diri.

---

"Ma ..." Aku mencoba memanggilnya dengan lembut, saat Mia meletakkan segelas wedang jahe di atas meja kerjaku malam itu.

Mia menatapku tanpa ekspresi, tak menyangka marahnya kali ini awet. Aku menelan ludah, ragu memulai kalimat berikutnya. Oleh karena tak pandai berkata dan merayu, sepuluh tahun pernikahan kami, tak sebaris puisi yang kutulis untuk Mia. Kadang malah melewatkan tanggal ulang tahunnya, sementara Mia mengingat secara detail segala tanggal dan kebiasaanku, juga anak-anak. Aku mulai merasa menyesal dan kasihan padanya.

"Mama boleh kok marah-marah lagi, Papa siap mendengarkan ..." pintaku spontan. Mia masih menatap tanpa ekspresi.

"Ma, please, jangan diam terus dong, Papa bisa gila kalau Mama diam terus." Aku memohon dengan lebih memelas sambil meraih tangannya ke genggamanku. Mia melepaskan tangannya dariku dan berlalu, kembali ke kamar kami.

---

"Nia ...! Joe ...! Banguun ...!"
Seketika anak-anak dengan bersemangat berebutan keluar kamar dan bergegas ke kamar mandi, setelah mendengar teriakan mamanya yang hilang beberapa hari ini.

"Sarapannya dihabiskan, bekal dimasukin ke dalam tas, botol minum jangan lupa," lanjut Mia mengawali pagi.

Aku tersenyum lega, hampir sama leganya dengan tawa anak-anak pagi ini.

"Mama sudah jadi Mama lagi," bisik Joe dengan bahasanya yang polos.

Aku menatap anak-anakku.

"Istriku sudah kembali." Ucapku dalam hati.

#Cerita ini aku dedikasikan kepada seluruh istri dan mama yang tak kenal lelah. Semangat ya 💪🤗
 
By : Yenyen Pau

***

Related, walau kasus yang berbeda.
Saat disuruh atau lebih baik diam saja, rasanya?
Hmm...
Tak menyangka saja
Kemana kata yang harus tersalurkan?
Sementara kita tak punya siapa-siapa.

**Tidak, kamu punya Allah, sebaik-baik tempat mengadu.
**Tak mengapa, semoga mengurangi dosa dari banyaknya kata yang mungkin sering terucap salah dan menyakiti.
**Diam lebih selamat.
**Selamat diam 😊
**Sabar, semoga Allah selalu memberikan keluasan hati 🙃


KSA, 12 Dzulhijjah 1445 H / 18 Juni 2024 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar