Detik-detik berlalu, meninggalkan dirimu
Dalam kesunyian di atas buaian
Wahai diri yang terlena
Dalam persinggahan yang fana
Umurmu terus berlalu
Menggiringmu menuju saat kematianmu
Tanganmu akan berkata
Kakimu akan berkata
Matamu akan berkata
Telingamu akan berkata
Terbukalah sudah tabir kebohonganmu
Dalam kegelapan, rintihan pilu menyayat kalbu
Tiada lentera, tiada keni’matan
Deraian air mata tiada berarti
Apalagi berjanji
Meniti jalan yang belum terlewati
Dalam kepedihan, kesedihan, kesendirian dan kegelapan
Kau berteriak : Ya Tuhanku, kembalikan aku!
Aku berjanji tak kan ku sia-siakan waktuku
Oh… diriku yang malang, tak satu katapun terdengar
Sebab sudah tiba waktuku menuai buah amalku
Wahai diri yang sedang bermimpi
Bangunlah, bangkit dan berjuanglah!
Ingatlah akan ikrarmu, saat hidup di rahim Ibu
Ingatlah janji wahai diri, agar kau tak lagi sendiri
Bila tiba waktunya nanti
Bumi digoncangkan, isinya ditumpahkan
Gunung-gunung diterbangkan
Bagaikan bulu beterbangan
Tertutuplah sudah lembaran amalmu
Tinggallah menunggu hari perhitunganmu.
(dari lembaran da’wah akhwat “An-Nisaa’”)
Hanya berisi sepenggal pengalaman yang Allah takdirkan terjadi padaku. Semoga qt bisa mengambil pelajaran dan hikmah...
Senin, 29 Desember 2008
SEPUCUK SURAT UNTUK SAUDARAKU
Tanpa terasa, tahun 1429 Hijriah telah berakhir. Tak kita dengar tiupan terompet atau aneka acara seperti penyambutan tahun baru masehi. Dan itu menambah kesyukuran kita, karena budaya seperti itu bukanlah tradisi Islam.
Subhanallah, bagi umat Islam tahun baru ini merupakan moment paling tepat untuk menengok serta mengulas balik beragam peristiwa setahun lalu, sebagai salah satu langkah menata masa depan gemilang dalam ridha dan kasihNya.
Dan muhasabah atau introspeksi diri merupakan cara terbaik mendeteksi sejauh mana hasil yang telah kita tempuh tanpa melupakan kesalahan-kesalahan yang kita lakukan.
Karena itu, sepucuk surat terbuka nan sederhana ini semoga mampu menggugah perasaan kita… untuk selalu mendekatkan diri pada-Nya.
Saudaraku seiman…
Pernahkah kita merenungi di usia yang kian menanjak dan berkurang ini, bagaimana dan apa saja yang telah kita lakukan dalam menghabiskannya?
Atau apakah kita termasuk dalam kategori orang yang merugi yang mengisi hari demi hari penuh kesia-siaan? Masihkah di hari-hari yang sarat beban dan tuntutan ini kita tetap menyempatkan diri berfikir dan bertanya dalam hati, apakah kita telah memenuhi hak-hak Allah sebagai satu-satunya yang patut kita sembah, takuti, harapkan dan kita cintai?
Sudahkah kewajiban sebagai hamba kita taati sebaik mungkin dan penuh keikhlasan?
“Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam” (Qs. Al-An’am : 162)
Wahai saudaraku…
Sholat yang kita jalankan, sudahkah semata-mata hanya untuk-Nya? Sudahkah kita mampu menghadirkan hati dan jiwa dalam setiap gerak dzikir sholat kita? Karena boleh jadi sholat itu hanya menjadi ibadah rutinitas yang hampa tanpa kesan membekas sehingga tidak mampu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.
Padahal “sholat” itu adalah miniature bahwa beginilah seharusnya kehidupan seorang hamba. Setia, taat dan ikhlas serta menyerahkan diri dan jiwa pada keagungan-Nya dalam setiap aspek hidup dan kehidupan yang semuanya mesti bernilai ibadah dan dzikir. Maka, mengapakah ketika sholat kita menutup seluruh aurat rapat-rapat, namun ketika berhadapan dengan manusia kita memamerkannya? Apakah manusia tidak bernafsu? Berfikirlah, saudaraku…
Betapa banyak ni’mat yang dicurahkan oleh Allah Yang Maha Penyayang pada kita, pada makhluk dan hamba-Nya. Begitu banyak yang bisa kita rasakan, kita lihat, kita dengar, atau kita lakukan dengan kelengkapan instrumen yang diberikan oleh-Nya. Apakah semua itu telah dan selalu kita syukuri? Ataukah luput sama sekali dari perhatian kita? … Karena kita tidak menggunakan pada jalan-Nya, atau bahkan melalaikannya!
Saudaraku seaqidah…
Adakah kenikmatan dunia terlalu melenakan sehingga kita merasa enggan memenuhi perintah dan menjauhi larangan Allah Yang Maha Penguasa secara sungguh-sungguh?
Ingatlah! Kita hidup di dunia ibarat pelayar yang mengarungi lautan menuju suatu pulau abadi. Bila telah sampai di tempat yang dituju, lautan, kapal dan isinya akan kita tinggalkan.
Begitupun saat perjanjian kita dengan Allah berakhir, maka tak ada yang bisa menghalangi atau menundanya. Dunia akan ditinggalkan, dan kita hanya membawa amalan-amalan selama hidup di dunia.
Nah, jikalau amalan kita hanya sedikit, lalu yang mendominasi adalah dosa-dosa, bagaimanakah kita menghadap pada-Nya dengan tenang? Apa yang akan kita jawab manakala pertanyaan demi pertanyaan diajukan pada kita? Lalu siapkah kita menanggung balasan adzan akibat menyimpang dari perintah Allah? Karena sesungguhnya adzab itu amat pedih… amat sakit… dan amat keras! Itulah janji Allah subhanahu wata’ala pada hamba-hambaNya yang ingkar dan membangkang!
Bila demikian, apakah kita ingin termasuk dalam kategori hamba yang tidak patuh? Tentunya tidak!
Karena itu, sekarang marilah kita tengok hati kita. Jauhkan segala macam penyakit kotor, dengki, iri, sombong, riya’, lalai, rakus, serakah, putus asa dan cinta dunia berlebihan. Kita hiasi dengan mutiara suci, ikhlas, jujur, tawadhu’, penyayang, zuhud, optimis dan tawakkal terhadap rahmat Allah. Mari kita tundukkan diri dan jiwa sepenuhnya di hadapan-Nya. Kita mulai memperbaiki niat dan langkah dalam mencapai ridha Allah… menggapai cinta dan kasih-Nya serta ampunan yang Mahaluas.
Sebelum datangnya huru-hara, hari kiamat yang pasti datang. Dimana, tiada seorang pun yang mampu menolong orang lain, bahkan dirinya sendiri sekalipun.
Semua manusia akan dikumpulkan, saat-saat mendebarkan berikutnya segera menyusul. Allah memanggil nama kita satu persatu dan menyerahkan raport selama masa hidup di dunia. Kita tidak tahu, apakah kita menerimanya dengan tangan kanan ataukah tangan kiri. Lalu kita akan dihisab, kita juga tidak tahu, timbangan amal kebaikan atau keburukankah yang lebih berat. Pun kita juga tidak tahu bagaimana menyeberangi titian Shirathal Mustaqim, apakah kita bisa selamat tiba di tujuan atau terlempar ke neraka?
Ukhtifillah… bergegaslah segera menginvestasi amalan sholeh, karena hanya itu yang akan menolong kita, saat semua orang tak mampu memberi pertolongan sekecil apapun.
“Dan ikutilah sebaik-baiknya apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum diturunkan adzab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tiada menyadarinya. Supaya jangan ada orang yang mengatakan amat besar penyesalanku atas kelalaianku (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang yang memperolok-olok (agama Allah). Atau supaya jangan ada yang berkata, sekiranya Allah memberi petunjuk kepadaku, tentulah aku termasuk orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Az-Zumar : 55-57).
Nah, tunggu apa lagi Ukhti?...
Segeralah bertaubat dan mohon petunjuk-Nya. Semoga Allah melindungi kita semua. Amin…
Wallahu a’lam bishowab.
(dari lembaran da’wah akhwat An-Nisaa’)
Subhanallah, bagi umat Islam tahun baru ini merupakan moment paling tepat untuk menengok serta mengulas balik beragam peristiwa setahun lalu, sebagai salah satu langkah menata masa depan gemilang dalam ridha dan kasihNya.
Dan muhasabah atau introspeksi diri merupakan cara terbaik mendeteksi sejauh mana hasil yang telah kita tempuh tanpa melupakan kesalahan-kesalahan yang kita lakukan.
Karena itu, sepucuk surat terbuka nan sederhana ini semoga mampu menggugah perasaan kita… untuk selalu mendekatkan diri pada-Nya.
Saudaraku seiman…
Pernahkah kita merenungi di usia yang kian menanjak dan berkurang ini, bagaimana dan apa saja yang telah kita lakukan dalam menghabiskannya?
Atau apakah kita termasuk dalam kategori orang yang merugi yang mengisi hari demi hari penuh kesia-siaan? Masihkah di hari-hari yang sarat beban dan tuntutan ini kita tetap menyempatkan diri berfikir dan bertanya dalam hati, apakah kita telah memenuhi hak-hak Allah sebagai satu-satunya yang patut kita sembah, takuti, harapkan dan kita cintai?
Sudahkah kewajiban sebagai hamba kita taati sebaik mungkin dan penuh keikhlasan?
“Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam” (Qs. Al-An’am : 162)
Wahai saudaraku…
Sholat yang kita jalankan, sudahkah semata-mata hanya untuk-Nya? Sudahkah kita mampu menghadirkan hati dan jiwa dalam setiap gerak dzikir sholat kita? Karena boleh jadi sholat itu hanya menjadi ibadah rutinitas yang hampa tanpa kesan membekas sehingga tidak mampu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.
Padahal “sholat” itu adalah miniature bahwa beginilah seharusnya kehidupan seorang hamba. Setia, taat dan ikhlas serta menyerahkan diri dan jiwa pada keagungan-Nya dalam setiap aspek hidup dan kehidupan yang semuanya mesti bernilai ibadah dan dzikir. Maka, mengapakah ketika sholat kita menutup seluruh aurat rapat-rapat, namun ketika berhadapan dengan manusia kita memamerkannya? Apakah manusia tidak bernafsu? Berfikirlah, saudaraku…
Betapa banyak ni’mat yang dicurahkan oleh Allah Yang Maha Penyayang pada kita, pada makhluk dan hamba-Nya. Begitu banyak yang bisa kita rasakan, kita lihat, kita dengar, atau kita lakukan dengan kelengkapan instrumen yang diberikan oleh-Nya. Apakah semua itu telah dan selalu kita syukuri? Ataukah luput sama sekali dari perhatian kita? … Karena kita tidak menggunakan pada jalan-Nya, atau bahkan melalaikannya!
Saudaraku seaqidah…
Adakah kenikmatan dunia terlalu melenakan sehingga kita merasa enggan memenuhi perintah dan menjauhi larangan Allah Yang Maha Penguasa secara sungguh-sungguh?
Ingatlah! Kita hidup di dunia ibarat pelayar yang mengarungi lautan menuju suatu pulau abadi. Bila telah sampai di tempat yang dituju, lautan, kapal dan isinya akan kita tinggalkan.
Begitupun saat perjanjian kita dengan Allah berakhir, maka tak ada yang bisa menghalangi atau menundanya. Dunia akan ditinggalkan, dan kita hanya membawa amalan-amalan selama hidup di dunia.
Nah, jikalau amalan kita hanya sedikit, lalu yang mendominasi adalah dosa-dosa, bagaimanakah kita menghadap pada-Nya dengan tenang? Apa yang akan kita jawab manakala pertanyaan demi pertanyaan diajukan pada kita? Lalu siapkah kita menanggung balasan adzan akibat menyimpang dari perintah Allah? Karena sesungguhnya adzab itu amat pedih… amat sakit… dan amat keras! Itulah janji Allah subhanahu wata’ala pada hamba-hambaNya yang ingkar dan membangkang!
Bila demikian, apakah kita ingin termasuk dalam kategori hamba yang tidak patuh? Tentunya tidak!
Karena itu, sekarang marilah kita tengok hati kita. Jauhkan segala macam penyakit kotor, dengki, iri, sombong, riya’, lalai, rakus, serakah, putus asa dan cinta dunia berlebihan. Kita hiasi dengan mutiara suci, ikhlas, jujur, tawadhu’, penyayang, zuhud, optimis dan tawakkal terhadap rahmat Allah. Mari kita tundukkan diri dan jiwa sepenuhnya di hadapan-Nya. Kita mulai memperbaiki niat dan langkah dalam mencapai ridha Allah… menggapai cinta dan kasih-Nya serta ampunan yang Mahaluas.
Sebelum datangnya huru-hara, hari kiamat yang pasti datang. Dimana, tiada seorang pun yang mampu menolong orang lain, bahkan dirinya sendiri sekalipun.
Semua manusia akan dikumpulkan, saat-saat mendebarkan berikutnya segera menyusul. Allah memanggil nama kita satu persatu dan menyerahkan raport selama masa hidup di dunia. Kita tidak tahu, apakah kita menerimanya dengan tangan kanan ataukah tangan kiri. Lalu kita akan dihisab, kita juga tidak tahu, timbangan amal kebaikan atau keburukankah yang lebih berat. Pun kita juga tidak tahu bagaimana menyeberangi titian Shirathal Mustaqim, apakah kita bisa selamat tiba di tujuan atau terlempar ke neraka?
Ukhtifillah… bergegaslah segera menginvestasi amalan sholeh, karena hanya itu yang akan menolong kita, saat semua orang tak mampu memberi pertolongan sekecil apapun.
“Dan ikutilah sebaik-baiknya apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum diturunkan adzab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tiada menyadarinya. Supaya jangan ada orang yang mengatakan amat besar penyesalanku atas kelalaianku (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang yang memperolok-olok (agama Allah). Atau supaya jangan ada yang berkata, sekiranya Allah memberi petunjuk kepadaku, tentulah aku termasuk orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Az-Zumar : 55-57).
Nah, tunggu apa lagi Ukhti?...
Segeralah bertaubat dan mohon petunjuk-Nya. Semoga Allah melindungi kita semua. Amin…
Wallahu a’lam bishowab.
(dari lembaran da’wah akhwat An-Nisaa’)
Jumat, 19 Desember 2008
Generasi 554
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
(Qs. Al Maidah : 54)
Siapakah kaum yang mencintai Allah? Subhanallah, banyaaak. Mereka mencinta dengan caranya sendiri-sendiri. Tapi, bagaimana dengan kaum yang kecintaannya berbalas? Allah mencintai mereka. Ayat yang mulia dari kitab yang mulia ini memaparkan ciri-ciri kaum yang berbahagia ini:
1) bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min
2) bersikap keras terhadap orang-orang kafir
3) berjihad di jalan Allah
4) tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela
Itulah generasi 554 atau ada yang menyebut generasi Qurani. Generasi yang diturunkan Allah untuk menyongsong satu kemenangan gemilang. Generasi yang begitu kuat tali ukhuwahnya terhadap sesama Muslim dan bersikap tegas terhadap kekufuran. Nilai-nilai Islam lah yang menjadi basis persaudaraan antar sesama umat manusia dan semangat jihad di jalan Allah menggelora dalam dada mereka.
The last...
Siapa yg ingin menjadi generasi 554? Sayaaaaa......
Klo Anda?
SEMANGATT!
ALLAHU AKBAR!!!
(dari berbagai sumber)
(Qs. Al Maidah : 54)
Siapakah kaum yang mencintai Allah? Subhanallah, banyaaak. Mereka mencinta dengan caranya sendiri-sendiri. Tapi, bagaimana dengan kaum yang kecintaannya berbalas? Allah mencintai mereka. Ayat yang mulia dari kitab yang mulia ini memaparkan ciri-ciri kaum yang berbahagia ini:
1) bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min
2) bersikap keras terhadap orang-orang kafir
3) berjihad di jalan Allah
4) tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela
Itulah generasi 554 atau ada yang menyebut generasi Qurani. Generasi yang diturunkan Allah untuk menyongsong satu kemenangan gemilang. Generasi yang begitu kuat tali ukhuwahnya terhadap sesama Muslim dan bersikap tegas terhadap kekufuran. Nilai-nilai Islam lah yang menjadi basis persaudaraan antar sesama umat manusia dan semangat jihad di jalan Allah menggelora dalam dada mereka.
The last...
Siapa yg ingin menjadi generasi 554? Sayaaaaa......
Klo Anda?
SEMANGATT!
ALLAHU AKBAR!!!
(dari berbagai sumber)
Selasa, 16 Desember 2008
7 Keajaiban Dunia
Sekelompok siswa kelas geografi sedang mempelajari ‘Tujuh Keajaiban Dunia’.
Pada awal dari pelajaran, mereka diminta untuk membuat daftar apa yang mereka pikir merupakan ‘Tujuh Keajaiban Dunia’ saat ini. Walaupun ada beberapa ketidak sesuaian, sebagian besar daftar berisi sbb :
1] Piramida
2] Taj Mahal
3] Tembok Besar Cina
4] Menara Pisa
5] Kuil Angkor
6] Menara Eiffel
7] Kuil Parthenon
Ketika mengumpulkan daftar pilihan, sang guru memperhatikan seorang pelajar, seorang gadis yang pendiam, yang belum mengumpulkan kertas kerjanya. Jadi, sang guru bertanya kepadanya apakah dia mempunyai kesulitan dengan daftarnya.
Gadis pendiam itu menjawab, ‘Ya, sedikit. Saya tidak bisa memilih karena sangat banyaknya ‘keajaiban itu’. Sang guru berkata,’Baik, katakan pada kami apa yang kamu miliki, dan mungkin kami bisa membantu memilihnya’.
Gadis itu ragu sejenak, kemudian membaca, ‘Saya pikir, ‘Tujuh Keajaiban Dunia’ itu adalah :
1] Bisa melihat,
2] Bisa mendengar,
3] Bisa menyentuh,
4] Bisa menyayangi,
5] Bisa merasakan,
6] Bisa tertawa, dan
7] Bisa mencintai
Ruang kelas tersebut sunyi seketika. Alangkah mudahnya bagi kita untuk melihat pada eksploitasi manusia dan menyebutnya ‘keajaiban’. Sementara kita lihat lagi semua yang telah Tuhan karuniakan untuk kita, kita menyebutnya sebagai ‘biasa’.
Sumber : http://ukhuwah.or.id/
Pada awal dari pelajaran, mereka diminta untuk membuat daftar apa yang mereka pikir merupakan ‘Tujuh Keajaiban Dunia’ saat ini. Walaupun ada beberapa ketidak sesuaian, sebagian besar daftar berisi sbb :
1] Piramida
2] Taj Mahal
3] Tembok Besar Cina
4] Menara Pisa
5] Kuil Angkor
6] Menara Eiffel
7] Kuil Parthenon
Ketika mengumpulkan daftar pilihan, sang guru memperhatikan seorang pelajar, seorang gadis yang pendiam, yang belum mengumpulkan kertas kerjanya. Jadi, sang guru bertanya kepadanya apakah dia mempunyai kesulitan dengan daftarnya.
Gadis pendiam itu menjawab, ‘Ya, sedikit. Saya tidak bisa memilih karena sangat banyaknya ‘keajaiban itu’. Sang guru berkata,’Baik, katakan pada kami apa yang kamu miliki, dan mungkin kami bisa membantu memilihnya’.
Gadis itu ragu sejenak, kemudian membaca, ‘Saya pikir, ‘Tujuh Keajaiban Dunia’ itu adalah :
1] Bisa melihat,
2] Bisa mendengar,
3] Bisa menyentuh,
4] Bisa menyayangi,
5] Bisa merasakan,
6] Bisa tertawa, dan
7] Bisa mencintai
Ruang kelas tersebut sunyi seketika. Alangkah mudahnya bagi kita untuk melihat pada eksploitasi manusia dan menyebutnya ‘keajaiban’. Sementara kita lihat lagi semua yang telah Tuhan karuniakan untuk kita, kita menyebutnya sebagai ‘biasa’.
Sumber : http://ukhuwah.or.id/
Senin, 15 Desember 2008
Menghitung-hitung Luas Surga dan Neraka
Berapakah kira-kira luas surga?
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Tuhanmu, dan kepada Syurga yang luasnya SELUAS LANGIT dan BUMI, yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Ali Imran: 133)
“Berlomba-lombalah kamu sekalian untuk mendapatkan ampunan Tuhanmu dan syurga yang luasnya SELUAS LANGIT dan BUMI yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya” (QS. Al-Hadiid : 21)
Subhaanallah, Surga itu luasnya seluas langit dan bumi? Berapakah luasnya langit dan bumi itu? Bisakah ilmu pengetahuan mengukurnya? Surga begitu luasnya, sementara penduduk bumi kita yang berisi sekitar lima milyar orang saja masih menyisakan demikian luas tempat yang belum dihuni.
Baiklah, sekedar untuk berhitung dan yang penting adalah untuk menambah keimanan kita akan kebesaran Allah Swt, mari kita mencoba mengukurnya. Berdasarkan informasi dari Al-qur'an. Bahwa langit ini dicipta oleh Allah Swt sebanyak TUJUH lapis.
Pernyataan ini didukung paling tidak oleh delapan buah ayat al-qur'an yaitu Al-Isra' : 44, Al-Mukminuun : 17, Al-Mukminuun : 86, Al-Mulk : 3, Al-Baqarah : 29, At-Thalaq : 12, Nuh : 15 dan An-Naba' : 12
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Isra' : 44)
Langit diciptakan oleh Sang Pencipta sebanyak tujuh lapis, sementara untuk langit terdekat saja yang masih mampu dipandang teropong manusia yang tercanggih sekalipun sudah membuat manusia 'takluk' tidak dapat membayangkan. Maka bumi sungguh ibarat debu jika dibandingkan dengan luasnya surga. Demikian pula keindahan bumi beserta isinya, sungguh amat sangat tidak sepadan jika dibandingkan dengan keindahan Surga.
Benarlah kata sebuah hadits Qudsi yang menyatakan bahwa, keindahan surga yang diberikan Allah kepada para hambaNya, belum pernah didengar telinga, belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah terlintas di dalam hati.
Sekedar sebagai ilustrasi matematis, mari kita bayangkan berapa luasnya jagad raya langit pertama itu. Garis tengah untuk langit pertama atau jagad raya ini diperkirakan sebesar 30 milyar tahun cahaya. Berarti garis tengah jagad raya kita ini sepanjang : 30.000.000.000 X 360 X 24 X 60 X 60 X 300.000 km = 279.936.000.000.000.000.000.000 km. Ini bukan luasnya langit, tetapi baru garis tengahnya saja.
Yang sedang kita hitung inipun masih luas langit terdekat saja. Belum lagi langit lapis ke dua, ke tiga, ke empat, ke lima, ke enam, dan yang ke tujuh. Yang kesemuanya itu jauh lebih besar dibanding langit pertama.
Lalu bisakah kita membayangkan luas surga? Bagaimana dengan keindahannya? Subhaanallah. Logika ilmu pengetahuan mungkin bakal terhenti, tinggal logika iman yang bisa mengukurnya.
Rasulullah pernah bersabda bahwa di surga sebuah pohon akan bisa kita lalui dari ujung ranting timur ke ujung ranting barat sejauh 100 tahun perjalanan.
Satu lagi, bahwa menurut ilmu pengetahuan, ternyata jagad raya ini tidak tetap, tetapi terus mengembang bertambah lama bertambah besar dan tentu juga bertambah luas. Menurut penelitian Stephen Hawking setiap satu milyar tahun jagad raya mengembang sekitar sepuluh sampai dengan lima belas persen.
Surga memang luar biasa hebatnya. Luar biasa indahnya. Bahkan kita tidak bisa membayangkannya. Tetapi yang lebih menarik adalah ‘pernyatan sikap’ para sufi dan para wali Allah, yang mengatakan bahwa mereka tidak terpesona dengan surga yang tidak terbayangkan keindahannya itu. Sebab mereka lebih terpesona dan lebih cinta kepada Pencipta dan Pemilik Surga, yaitu Allah Swt.
Artinya keindahan Allah Swt, Kebesaran, dan kehebatannya, sungguh melebihi surga itu sendiri. Subhaanallah. Cuma kadang-kadang manusia 'terperangkap' dengan keindahan hadiahnya dan lupa kepada Dzat Yang Maha Pemberi hadiah.
Berapakah kira-kira luas neraka ?
Suatu saat Abu Hurairah ra, mengatakan, ketika kami bersama rasulullah, tiba-tiba terdengar suara yang sangat keras, seperti benda yang jatuh menggelegar. Nabi yang mulia mengatakan:
“Tahukah kamu sekalian, suara apa itu? Kami menjawab: hanya Allah dan rasulNya sajalah yang lebih mengetahuinya. Nabi menjawab, itu tadi adalah suara dari sebuah batu yang dijatuhkan ke dalam jurang neraka, sejak tujuh puluh tahun yang lalu, baru sampai ke dasarnya ini tadi...” (HR. Muslim)
Benda yang jatuh, secara ilmu fisika bisa dihitung jaraknya. Berdasarkan gravitasi yang berlaku. Jika gravitasi bumi kita ini adalah 9,8 m / detik, maka dengan mudah kita bisa menghitung jarak tempuh batu yang jatuh mengikuti rums 1/2 gt2. Jika jatuhnya ke bumi kita sbb:
Jarak tempuh batu selama 70 tahun adalah, 0,5 x [70X360X24X60X60] x [70X360X24X60X60] x 9,8 m = 23.228.686.172.160.000 m = 23.228.686.172.160 km,
Bandingkan garis tengah bumi kita hanya: 12.756 km. Ini berarti, bahwa neraka memiliki kedalaman: 23.228.686.172.160 km /12.756 km = 1.821.000.797.441,2 X diameter bumi ini jika dipakai gravitasi 'bumi kita'.
Artinya bahwa, jika jurang neraka itu diukur berdasarkan gravitasi bumi kita, maka neraka memiliki kedalaman = 1.821.000.797.441,2 kali garis tengahnya bumi. Atau jika kita menggali sebuah sumur, maka sumur itu akan mencapai kedalaman seperti yang kita hitung di atas. Apabila sumur itu menembus bumi berulang kali, sampai sebanyak 1.821.000.797.441,2 kali.
Dari sini saja kita sudah sulit membayangkan betapa dalamnya jurang neraka seperti yang diinformasikan oleh rasulullah saw tadi. Jadi jurang neraka itu sedalam: 1.821.000.797.441,2 kali 'tebal'nya bumi. Ah, betapa menggiriskan! Yang baru kita illustrasikan tadi kedalaman vertikal neraka, bagaimana pula lebar horizontalnya. Semestinya lebar horizontal lebih luas dari vertikalnya, ibarat bumi yang memiliki permukaan lebih luas dibanding ketinggian atmosfir bumi.
Tetapi kedalaman itu, 'belum seberapa, sebab nanti di yaumil akhir, bumi kita ini akan diganti oleh bumi yang lain. Sehingga gravitasi yang dimaksud tentu bukan gaya gravitasi bumi kita ini. Tetapi gravitasi bumi baru, yang jauh lebih hebat dan lebih dahsyat kekuatan daya tariknya.
“Ketika bumi ini diganti dengan bumi yang lain, begitu pula dengan langitnya, Mereka bermunculan dari kuburnya masing-masing menghadap kepada Allah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa”. (QS. Ibrahim 14 : 48)
Jangankan dipakai ukuran bumi baru yang kita belum tahu gravitasinya. Andaikata dipakai ukuran gaya tariknya Black Hole saja, yg mempunyai perbandingan 1 : 100 trilyun (perbandingan ini telah dianalisis pada suatu diskusi ilmiah yang bejudul "Menikmati keindahan Allah melalui logika dan tanda-tanda”), maka kedalaman neraka menjadi sangat sangat menggiriskan
Secara matematis kedalaman itu menjadi : 23.228.686.172.160 km X 100.000.000.000.000 = 232.286.861.721.600.000.000.000.000 km
Sebagai gambaran, bila 1 trilyun atau 1000 milyar manusia sekalipun dimasukkan kedalam neraka sekaligus maka tiap orangnya masih bisa diberi jatah ruang lebih dari 200 trilyun kilometer persegi .
Sehingga kalau seseorang dimasukkan ke dalam neraka, jangan harap mudah menemukan teman ‘senasib dan sependeritaan’, apalagi sampai berbagi duka dan saling memberi dorongan agar ‘tabah’.
Tulisan ini belum lagi membicarakan dahsyatnya suhu neraka serta ragam siksaan dan kualitas siksaannya. Sebagai gambaran singkat Rasulullah saw pernah berkata, andaikata dari dalam neraka yang dahsyat itu menerobos keluar apinya meskipun hanya sebesar lubang jarum saja, maka hancur binasalah bumi kita. Tulisan ini juga belum menggambarkan bahwa di neraka tubuh manusia tidak langsung gosong atau meleleh tapi memuai dahulu. Rasulullah SAW pernah berkata bahwa ada gigi seorang kafir yang akan menjadi sebesar gunung Uhud di neraka. Hadits lain meriwayatkan bahwa tebal kulit manusia di neraka akan (memuai) hingga setebal 3 hari perjalanan, jauh lebih tebal dibanding kulit sapi yang digoreng dan memuai hingga setebal kerupuk kulit. Inilah mungkin hikmah kenapa jatah ruang neraka untuk setiap penghuninya diberi kapasitas yang sedemikian luasnya.
Setelah kita membayangkan keindahan surga yang ternyata tidak bisa dibayangkan saking dahsyatnya, dan setelah kita berhitung matematis tentang kedalaman neraka, yang ternyata juga tidak bisa kita bayangkan betapa mengerikan kedalaman neraka itu, masihkah kita mau menunda amal akhirat kita untuk suatu masalah dunia yang ternyata sangat kecil dan tidak abadi ini.
Ya Allah, berilah kami kebaikan di atas dunia ini, dan berilah kami kebaikan di akhirat nanti, hindarkanlah kami dari siksaMu yang amat pedih...
(sumber : kebunhikmah.com)
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Tuhanmu, dan kepada Syurga yang luasnya SELUAS LANGIT dan BUMI, yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Ali Imran: 133)
“Berlomba-lombalah kamu sekalian untuk mendapatkan ampunan Tuhanmu dan syurga yang luasnya SELUAS LANGIT dan BUMI yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulNya” (QS. Al-Hadiid : 21)
Subhaanallah, Surga itu luasnya seluas langit dan bumi? Berapakah luasnya langit dan bumi itu? Bisakah ilmu pengetahuan mengukurnya? Surga begitu luasnya, sementara penduduk bumi kita yang berisi sekitar lima milyar orang saja masih menyisakan demikian luas tempat yang belum dihuni.
Baiklah, sekedar untuk berhitung dan yang penting adalah untuk menambah keimanan kita akan kebesaran Allah Swt, mari kita mencoba mengukurnya. Berdasarkan informasi dari Al-qur'an. Bahwa langit ini dicipta oleh Allah Swt sebanyak TUJUH lapis.
Pernyataan ini didukung paling tidak oleh delapan buah ayat al-qur'an yaitu Al-Isra' : 44, Al-Mukminuun : 17, Al-Mukminuun : 86, Al-Mulk : 3, Al-Baqarah : 29, At-Thalaq : 12, Nuh : 15 dan An-Naba' : 12
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Isra' : 44)
Langit diciptakan oleh Sang Pencipta sebanyak tujuh lapis, sementara untuk langit terdekat saja yang masih mampu dipandang teropong manusia yang tercanggih sekalipun sudah membuat manusia 'takluk' tidak dapat membayangkan. Maka bumi sungguh ibarat debu jika dibandingkan dengan luasnya surga. Demikian pula keindahan bumi beserta isinya, sungguh amat sangat tidak sepadan jika dibandingkan dengan keindahan Surga.
Benarlah kata sebuah hadits Qudsi yang menyatakan bahwa, keindahan surga yang diberikan Allah kepada para hambaNya, belum pernah didengar telinga, belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah terlintas di dalam hati.
Sekedar sebagai ilustrasi matematis, mari kita bayangkan berapa luasnya jagad raya langit pertama itu. Garis tengah untuk langit pertama atau jagad raya ini diperkirakan sebesar 30 milyar tahun cahaya. Berarti garis tengah jagad raya kita ini sepanjang : 30.000.000.000 X 360 X 24 X 60 X 60 X 300.000 km = 279.936.000.000.000.000.000.000 km. Ini bukan luasnya langit, tetapi baru garis tengahnya saja.
Yang sedang kita hitung inipun masih luas langit terdekat saja. Belum lagi langit lapis ke dua, ke tiga, ke empat, ke lima, ke enam, dan yang ke tujuh. Yang kesemuanya itu jauh lebih besar dibanding langit pertama.
Lalu bisakah kita membayangkan luas surga? Bagaimana dengan keindahannya? Subhaanallah. Logika ilmu pengetahuan mungkin bakal terhenti, tinggal logika iman yang bisa mengukurnya.
Rasulullah pernah bersabda bahwa di surga sebuah pohon akan bisa kita lalui dari ujung ranting timur ke ujung ranting barat sejauh 100 tahun perjalanan.
Satu lagi, bahwa menurut ilmu pengetahuan, ternyata jagad raya ini tidak tetap, tetapi terus mengembang bertambah lama bertambah besar dan tentu juga bertambah luas. Menurut penelitian Stephen Hawking setiap satu milyar tahun jagad raya mengembang sekitar sepuluh sampai dengan lima belas persen.
Surga memang luar biasa hebatnya. Luar biasa indahnya. Bahkan kita tidak bisa membayangkannya. Tetapi yang lebih menarik adalah ‘pernyatan sikap’ para sufi dan para wali Allah, yang mengatakan bahwa mereka tidak terpesona dengan surga yang tidak terbayangkan keindahannya itu. Sebab mereka lebih terpesona dan lebih cinta kepada Pencipta dan Pemilik Surga, yaitu Allah Swt.
Artinya keindahan Allah Swt, Kebesaran, dan kehebatannya, sungguh melebihi surga itu sendiri. Subhaanallah. Cuma kadang-kadang manusia 'terperangkap' dengan keindahan hadiahnya dan lupa kepada Dzat Yang Maha Pemberi hadiah.
Berapakah kira-kira luas neraka ?
Suatu saat Abu Hurairah ra, mengatakan, ketika kami bersama rasulullah, tiba-tiba terdengar suara yang sangat keras, seperti benda yang jatuh menggelegar. Nabi yang mulia mengatakan:
“Tahukah kamu sekalian, suara apa itu? Kami menjawab: hanya Allah dan rasulNya sajalah yang lebih mengetahuinya. Nabi menjawab, itu tadi adalah suara dari sebuah batu yang dijatuhkan ke dalam jurang neraka, sejak tujuh puluh tahun yang lalu, baru sampai ke dasarnya ini tadi...” (HR. Muslim)
Benda yang jatuh, secara ilmu fisika bisa dihitung jaraknya. Berdasarkan gravitasi yang berlaku. Jika gravitasi bumi kita ini adalah 9,8 m / detik, maka dengan mudah kita bisa menghitung jarak tempuh batu yang jatuh mengikuti rums 1/2 gt2. Jika jatuhnya ke bumi kita sbb:
Jarak tempuh batu selama 70 tahun adalah, 0,5 x [70X360X24X60X60] x [70X360X24X60X60] x 9,8 m = 23.228.686.172.160.000 m = 23.228.686.172.160 km,
Bandingkan garis tengah bumi kita hanya: 12.756 km. Ini berarti, bahwa neraka memiliki kedalaman: 23.228.686.172.160 km /12.756 km = 1.821.000.797.441,2 X diameter bumi ini jika dipakai gravitasi 'bumi kita'.
Artinya bahwa, jika jurang neraka itu diukur berdasarkan gravitasi bumi kita, maka neraka memiliki kedalaman = 1.821.000.797.441,2 kali garis tengahnya bumi. Atau jika kita menggali sebuah sumur, maka sumur itu akan mencapai kedalaman seperti yang kita hitung di atas. Apabila sumur itu menembus bumi berulang kali, sampai sebanyak 1.821.000.797.441,2 kali.
Dari sini saja kita sudah sulit membayangkan betapa dalamnya jurang neraka seperti yang diinformasikan oleh rasulullah saw tadi. Jadi jurang neraka itu sedalam: 1.821.000.797.441,2 kali 'tebal'nya bumi. Ah, betapa menggiriskan! Yang baru kita illustrasikan tadi kedalaman vertikal neraka, bagaimana pula lebar horizontalnya. Semestinya lebar horizontal lebih luas dari vertikalnya, ibarat bumi yang memiliki permukaan lebih luas dibanding ketinggian atmosfir bumi.
Tetapi kedalaman itu, 'belum seberapa, sebab nanti di yaumil akhir, bumi kita ini akan diganti oleh bumi yang lain. Sehingga gravitasi yang dimaksud tentu bukan gaya gravitasi bumi kita ini. Tetapi gravitasi bumi baru, yang jauh lebih hebat dan lebih dahsyat kekuatan daya tariknya.
“Ketika bumi ini diganti dengan bumi yang lain, begitu pula dengan langitnya, Mereka bermunculan dari kuburnya masing-masing menghadap kepada Allah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa”. (QS. Ibrahim 14 : 48)
Jangankan dipakai ukuran bumi baru yang kita belum tahu gravitasinya. Andaikata dipakai ukuran gaya tariknya Black Hole saja, yg mempunyai perbandingan 1 : 100 trilyun (perbandingan ini telah dianalisis pada suatu diskusi ilmiah yang bejudul "Menikmati keindahan Allah melalui logika dan tanda-tanda”), maka kedalaman neraka menjadi sangat sangat menggiriskan
Secara matematis kedalaman itu menjadi : 23.228.686.172.160 km X 100.000.000.000.000 = 232.286.861.721.600.000.000.000.000 km
Sebagai gambaran, bila 1 trilyun atau 1000 milyar manusia sekalipun dimasukkan kedalam neraka sekaligus maka tiap orangnya masih bisa diberi jatah ruang lebih dari 200 trilyun kilometer persegi .
Sehingga kalau seseorang dimasukkan ke dalam neraka, jangan harap mudah menemukan teman ‘senasib dan sependeritaan’, apalagi sampai berbagi duka dan saling memberi dorongan agar ‘tabah’.
Tulisan ini belum lagi membicarakan dahsyatnya suhu neraka serta ragam siksaan dan kualitas siksaannya. Sebagai gambaran singkat Rasulullah saw pernah berkata, andaikata dari dalam neraka yang dahsyat itu menerobos keluar apinya meskipun hanya sebesar lubang jarum saja, maka hancur binasalah bumi kita. Tulisan ini juga belum menggambarkan bahwa di neraka tubuh manusia tidak langsung gosong atau meleleh tapi memuai dahulu. Rasulullah SAW pernah berkata bahwa ada gigi seorang kafir yang akan menjadi sebesar gunung Uhud di neraka. Hadits lain meriwayatkan bahwa tebal kulit manusia di neraka akan (memuai) hingga setebal 3 hari perjalanan, jauh lebih tebal dibanding kulit sapi yang digoreng dan memuai hingga setebal kerupuk kulit. Inilah mungkin hikmah kenapa jatah ruang neraka untuk setiap penghuninya diberi kapasitas yang sedemikian luasnya.
Setelah kita membayangkan keindahan surga yang ternyata tidak bisa dibayangkan saking dahsyatnya, dan setelah kita berhitung matematis tentang kedalaman neraka, yang ternyata juga tidak bisa kita bayangkan betapa mengerikan kedalaman neraka itu, masihkah kita mau menunda amal akhirat kita untuk suatu masalah dunia yang ternyata sangat kecil dan tidak abadi ini.
Ya Allah, berilah kami kebaikan di atas dunia ini, dan berilah kami kebaikan di akhirat nanti, hindarkanlah kami dari siksaMu yang amat pedih...
(sumber : kebunhikmah.com)
Bersin dan Menguap
Rasulullah bersabda:
عن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (( إن الله يحب العطاس ويكره التثاؤب، فإذا عطس فحمد الله فحق على كل مسلم سمعه أن يشمته، وأما التثاؤب فإنما هو من الشيطان فليرده ما استطاع، فإذا قال: ها، ضحك منه الشيطان )) صحيح البخاري في الأدب 6223
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ta'alaa anhu, Rasulullah bersabda, "Sungguh Allah mencintai orang yang bersin dan membenci orang yang menguap, maka jika kalian bersin maka pujilah Allah, maka setiap orang yang mendengar pujian itu untuk menjawabnya; adapun menguap, maka itu dari syaitan, maka lawanlah itu sekuat tenagamu. Dan apabil seseorang menguap dan terdengar bunyi: Aaaa, maka syaitan pun tertawa karenanya". Shahih Bukhari, 6223.
Imam Ibn Hajar berkata, "Imam Al-Khathabi mengatakan bahwa makna cinta dan benci pada hadits di atas dikembalikan kepada sebab yang termaktub dalam hadits itu. Yaitu bahwa bersin terjadi karena badan yang kering dan pori-pori kulit terbuka, dan tidak tercapainya rasa kenyang. Ini berbeda dengan orang yang menguap. Menguap terjadi karena badan yang kekenyangan, dan badan terasa berat untuk beraktivitas, hal ini karena banyaknya makan . Bersin bisa menggerakkan orang untuk bisa beribadah, sedangkan menguap menjadikan orang itu malas (Fath-hul Baari: 10/6077)
Nabi menjelaskan bagaimana seseorang yang mendengar orang yang bersin dan memuji Allah agar membalas pujian tersebut.
Rasulullah bersabda:
(( إذا عطس أحدكم فليقل الحمد لله، وليقل له أخوه أو صاحبه: يرحمك الله، فإذا قال له يرحمك الله فليقل: يهديكم الله ويصلح بالكم )) صحيح البخاري في الأدب: 6224
Apabila salah seorang diantara kalian bersin, maka ucapkanlah Al-Hamdulillah, dan hendaklah orang yang mendengarnya menjawab dengan Yarhamukallahu, dan bila dijawab demikian, maka balaslah dengan ucapan Yahdikumullahu wa Yushlihubaalakum (HR. Bukhari, 6224)
Dan para dokter di zaman sekarang mengatakan, "Menguap adalah gejala yang menunjukkan bahwa otak dan tubuh orang tersebut membutuhkan oksigen dan nutrisi; dan karena organ pernafasan kurang dalam menyuplai oksigen kepada otak dan tubuh. Dan hal ini terjadi ketika kita sedang kantuk atau pusing, lesu, dan orang yang sedang menghadapi kematian. Dan menguap adalah aktivitas menghirup udara dalam-dalam melalui mulut, dan bukan mulut dengan cara biasa menarik nafas dalam-dalam !!! Karena mulut bukanlah organ yang disiapkan untuk menyaring udara seperti hidung. Maka, apabila mulut tetap dalam keadaan terbuka ketika menguap, maka masuk juga berbagai jenis mikroba dan debu, atau kutu bersamaan dengan masuknya udara ke dalam tubuh. Oleh karena itu, datang petunjuk nabawi yang mulia agar kita melawan "menguap" ini sekuat kemampuan kita, atau pun menutup mulut saat menguap dengan tangan kanan atau pun dengan punggung tangan kiri.
Bersin adalah lawan dari menguap yaitu keluarnya udara dengan keras, kuat disertai hentakan melalui dua lubang: hidung dan mulut. Maka akan terkuras dari badan bersamaan dengan bersin ini sejumlah hal seperti debu, haba' (sesuatu yang sangat kecil, di udara, yang hanya terlihat ketika ada sinar matahari), atau kutu, atau mikroba yang terkadang masuk ke dalam organ pernafasan. Oleh karena itu, secara tabiat, bersin datang dari Yang Maha Rahman (Pengasih), sebab padanya terdapat manfaat yang besar bagi tubuh. Dan menguap datang dari syaithan sebab ia mendatangkan bahaya bagi tubuh. Dan atas setiap orang hendaklah memuji Allah Yang Maha Suci Lagi Maha Tinggi ketika dia bersin, dan agar meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk ketika sedang menguap (Lihat Al-Haqa'iq Al-Thabiyah fii Al-Islam: hal 155)
( alsofwah.or.id - 13 Ramadhan 1424/071103 )
عن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (( إن الله يحب العطاس ويكره التثاؤب، فإذا عطس فحمد الله فحق على كل مسلم سمعه أن يشمته، وأما التثاؤب فإنما هو من الشيطان فليرده ما استطاع، فإذا قال: ها، ضحك منه الشيطان )) صحيح البخاري في الأدب 6223
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ta'alaa anhu, Rasulullah bersabda, "Sungguh Allah mencintai orang yang bersin dan membenci orang yang menguap, maka jika kalian bersin maka pujilah Allah, maka setiap orang yang mendengar pujian itu untuk menjawabnya; adapun menguap, maka itu dari syaitan, maka lawanlah itu sekuat tenagamu. Dan apabil seseorang menguap dan terdengar bunyi: Aaaa, maka syaitan pun tertawa karenanya". Shahih Bukhari, 6223.
Imam Ibn Hajar berkata, "Imam Al-Khathabi mengatakan bahwa makna cinta dan benci pada hadits di atas dikembalikan kepada sebab yang termaktub dalam hadits itu. Yaitu bahwa bersin terjadi karena badan yang kering dan pori-pori kulit terbuka, dan tidak tercapainya rasa kenyang. Ini berbeda dengan orang yang menguap. Menguap terjadi karena badan yang kekenyangan, dan badan terasa berat untuk beraktivitas, hal ini karena banyaknya makan . Bersin bisa menggerakkan orang untuk bisa beribadah, sedangkan menguap menjadikan orang itu malas (Fath-hul Baari: 10/6077)
Nabi menjelaskan bagaimana seseorang yang mendengar orang yang bersin dan memuji Allah agar membalas pujian tersebut.
Rasulullah bersabda:
(( إذا عطس أحدكم فليقل الحمد لله، وليقل له أخوه أو صاحبه: يرحمك الله، فإذا قال له يرحمك الله فليقل: يهديكم الله ويصلح بالكم )) صحيح البخاري في الأدب: 6224
Apabila salah seorang diantara kalian bersin, maka ucapkanlah Al-Hamdulillah, dan hendaklah orang yang mendengarnya menjawab dengan Yarhamukallahu, dan bila dijawab demikian, maka balaslah dengan ucapan Yahdikumullahu wa Yushlihubaalakum (HR. Bukhari, 6224)
Dan para dokter di zaman sekarang mengatakan, "Menguap adalah gejala yang menunjukkan bahwa otak dan tubuh orang tersebut membutuhkan oksigen dan nutrisi; dan karena organ pernafasan kurang dalam menyuplai oksigen kepada otak dan tubuh. Dan hal ini terjadi ketika kita sedang kantuk atau pusing, lesu, dan orang yang sedang menghadapi kematian. Dan menguap adalah aktivitas menghirup udara dalam-dalam melalui mulut, dan bukan mulut dengan cara biasa menarik nafas dalam-dalam !!! Karena mulut bukanlah organ yang disiapkan untuk menyaring udara seperti hidung. Maka, apabila mulut tetap dalam keadaan terbuka ketika menguap, maka masuk juga berbagai jenis mikroba dan debu, atau kutu bersamaan dengan masuknya udara ke dalam tubuh. Oleh karena itu, datang petunjuk nabawi yang mulia agar kita melawan "menguap" ini sekuat kemampuan kita, atau pun menutup mulut saat menguap dengan tangan kanan atau pun dengan punggung tangan kiri.
Bersin adalah lawan dari menguap yaitu keluarnya udara dengan keras, kuat disertai hentakan melalui dua lubang: hidung dan mulut. Maka akan terkuras dari badan bersamaan dengan bersin ini sejumlah hal seperti debu, haba' (sesuatu yang sangat kecil, di udara, yang hanya terlihat ketika ada sinar matahari), atau kutu, atau mikroba yang terkadang masuk ke dalam organ pernafasan. Oleh karena itu, secara tabiat, bersin datang dari Yang Maha Rahman (Pengasih), sebab padanya terdapat manfaat yang besar bagi tubuh. Dan menguap datang dari syaithan sebab ia mendatangkan bahaya bagi tubuh. Dan atas setiap orang hendaklah memuji Allah Yang Maha Suci Lagi Maha Tinggi ketika dia bersin, dan agar meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk ketika sedang menguap (Lihat Al-Haqa'iq Al-Thabiyah fii Al-Islam: hal 155)
( alsofwah.or.id - 13 Ramadhan 1424/071103 )
Sabtu, 13 Desember 2008
TULANG MANUSIA LEBIH KUAT DARIPADA BETON !!!
Semua tulang dalam tubuh terdiri atas dua bagian, yaitu bagian luar yang padat yang disebut tulang kompakta, dan bagian dalam yang ringan karena berongga-rongga yang disebut kaselus. Bagian luar yang padat itu sendiri adalah gabungan masa pipa-pipa yang berlubang di bagian tengahnya. Gabungan pipa-pipa tulang pada bagian kompaktalah yang membuat tulang menjadi kuat. Di samping itu, tulang yang bekerja menanggung beban berat akan berbentuk pipa, contohnya adalah tulang lengan dan pangkal kaki. Struktur seperti pipa ini membuat tulang lebih kuat daripada berbentuk padat tanpa rongga di tengahnya. Inilah yang membuat tulang paha lebih kuat daripada tongkat baja dengan berat yang sama tapi tidak berongga di tengah. Hal ini terbukti dengan hasil percobaan yang menunjukkan bahwa tulang paha seorang dewasa mampu menahan berat sebuah sedan kecil.
Jika Anda tidak percaya, Anda bisa mencoba membuktikan. Tentu, tanpa mencopot tulang paha Anda. Ambillah selembar uang kertas Rp 10.000 yang masih baru, benar-benar baru. Gulunglah uang kertas tersebut sampai mempunyai diameter sekitar 2 centimeter. Berdirikan gulungan itu lalu tumpangkan sebuah buku yang beratnya sekitar 2 kilogram di atasnya dengan seimbang lalu lepaskan buku itu. Akan terbukti bahwa gulungan uang tersebut mampu mengangkat beban yang jauh lebih besar dari beratnya sendiri !
Sumber : Majalah el-fata edisi 05 vol. 07 tahun 2007 (http://www.smaitwahdah.co.cc/)
Jika Anda tidak percaya, Anda bisa mencoba membuktikan. Tentu, tanpa mencopot tulang paha Anda. Ambillah selembar uang kertas Rp 10.000 yang masih baru, benar-benar baru. Gulunglah uang kertas tersebut sampai mempunyai diameter sekitar 2 centimeter. Berdirikan gulungan itu lalu tumpangkan sebuah buku yang beratnya sekitar 2 kilogram di atasnya dengan seimbang lalu lepaskan buku itu. Akan terbukti bahwa gulungan uang tersebut mampu mengangkat beban yang jauh lebih besar dari beratnya sendiri !
Sumber : Majalah el-fata edisi 05 vol. 07 tahun 2007 (http://www.smaitwahdah.co.cc/)
Minggu, 07 Desember 2008
Jangan Nodai Cadarku
Sukses menyedot perhatian jutaan penonton dengan film layar lebar “Ayat-ayat Cinta”, film religi dengan tema dan lakon yang mirip pun bermunculan ditayangkan dalam bentuk sinetron di televisi-televisi. Dari dulu memang dunia perfileman di Indonesia tak lepas dari praktik dan budaya ‘beo’.
Tak pelak wanita bercadar menjadi salah satu tokoh utama dalam film tersebut. Tanpa mengabaikan sisi positif yang ada, tapi ‘memperkenalkan’ cadar di tengah masyarakat yang masih awam lewat film apalagi dengan tema basi ‘skandal cinta’ bukan ide dan cara yang bagus. Bahkan ini akan memberikan preseden yang buruk dan pelecehan terhadap syariat yang dikhususkan kepada muslimah ini.
Cadar sebagai pakaian yang menunjukkan ketaqwaan sempurna seorang mu’minah dalam menjaga kehormatannya tak berlaku dalam film yang lumrah dengan ikhtilath, khalwat dan berbagai pelanggaran syari’at lainnya. Setidaknya tayangan-tayangan itu akan melahirkan pemikiran dalam benak penonton, “Yang pakai cadar saja begitu….!” Dan berbagai stigma buruk lainnya dan hanya akan menjadi dalih buat mereka untuk membenarkan suatu kemaksiatan.
Cadar Sebenarnya
Ketaqwaan memang tidak bisa diukur dengan pakaian, tapi setidaknya pakaian seseorang akan menunjukkan ketakwaannya. Apakah pikiran Anda sama dengan wanita yang pamer aurat dan dengan yang menutup auratnya? Tentu tidak bukan?
Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama tentang wajib tidaknya cadar, misalnya kita ambil saja pendapat yang menganggap cadar adalah sunnah, jika menilik pada pernyataan Syekh Al Hilami tentang makna daripada takwa, “Hakikat takwa itu melaksanakan semua perintah, baik yang wajib maupun yang sunnah, dan menjauhi semua larangan, yang makruh dan yang tidak perlu karena maksud daripada takwa adalah membentengi diri dari neraka, dan itu telah saya sebutkan.” Tidak muluk kalau saya katakan, “Insya Allah wanita bercadar lebih bertakwa dari yang tidak.” Sebagaimana pernyataan Syekh Bin Baz rahimahullah yang memuji Syekh Albani rahimahullah, “Ketakwaannya melebihi fatwanya.” Kenapa? Karena ternyata meski dalam hal di atas mereka berbeda pendapat, dimana syekh Bin Baz berpendapat bahwa cadar adalah wajib bagi muslimah sedangkan syekh Albani berpendapat bahwa cadar adalah sunnah, namun istri dan anak perempuan syekh Albani tetap memakai cadar.
Subhanallah…, zaman dimana kebanyakan wanita berlomba-lomba untuk menampilkan kecantikannya ternyata masih ada wanita yang menjaga kehormatannya, menutup wajah cantiknya dari pandangan syahwat laki-laki asing dan mempersembahkan hanya untuk suaminya., tak sampai di situ pandangan dan pergaulan dengan lawan jenisnya pun ia jaga, cukup jauh dari perilaku wanita bercadar yang ditampilkan di film-film tersebut…
Ia akan tetap suci…
Disyari’atkan oleh Dzat yang Maha Suci
Agar Makhluk yang disayangi-Nya tetap suci
Ia tak pernah khilaf dan salah
Yang bersalah hanyalah pelaku dosa
Tak pelak wanita bercadar menjadi salah satu tokoh utama dalam film tersebut. Tanpa mengabaikan sisi positif yang ada, tapi ‘memperkenalkan’ cadar di tengah masyarakat yang masih awam lewat film apalagi dengan tema basi ‘skandal cinta’ bukan ide dan cara yang bagus. Bahkan ini akan memberikan preseden yang buruk dan pelecehan terhadap syariat yang dikhususkan kepada muslimah ini.
Cadar sebagai pakaian yang menunjukkan ketaqwaan sempurna seorang mu’minah dalam menjaga kehormatannya tak berlaku dalam film yang lumrah dengan ikhtilath, khalwat dan berbagai pelanggaran syari’at lainnya. Setidaknya tayangan-tayangan itu akan melahirkan pemikiran dalam benak penonton, “Yang pakai cadar saja begitu….!” Dan berbagai stigma buruk lainnya dan hanya akan menjadi dalih buat mereka untuk membenarkan suatu kemaksiatan.
Cadar Sebenarnya
Ketaqwaan memang tidak bisa diukur dengan pakaian, tapi setidaknya pakaian seseorang akan menunjukkan ketakwaannya. Apakah pikiran Anda sama dengan wanita yang pamer aurat dan dengan yang menutup auratnya? Tentu tidak bukan?
Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama tentang wajib tidaknya cadar, misalnya kita ambil saja pendapat yang menganggap cadar adalah sunnah, jika menilik pada pernyataan Syekh Al Hilami tentang makna daripada takwa, “Hakikat takwa itu melaksanakan semua perintah, baik yang wajib maupun yang sunnah, dan menjauhi semua larangan, yang makruh dan yang tidak perlu karena maksud daripada takwa adalah membentengi diri dari neraka, dan itu telah saya sebutkan.” Tidak muluk kalau saya katakan, “Insya Allah wanita bercadar lebih bertakwa dari yang tidak.” Sebagaimana pernyataan Syekh Bin Baz rahimahullah yang memuji Syekh Albani rahimahullah, “Ketakwaannya melebihi fatwanya.” Kenapa? Karena ternyata meski dalam hal di atas mereka berbeda pendapat, dimana syekh Bin Baz berpendapat bahwa cadar adalah wajib bagi muslimah sedangkan syekh Albani berpendapat bahwa cadar adalah sunnah, namun istri dan anak perempuan syekh Albani tetap memakai cadar.
Subhanallah…, zaman dimana kebanyakan wanita berlomba-lomba untuk menampilkan kecantikannya ternyata masih ada wanita yang menjaga kehormatannya, menutup wajah cantiknya dari pandangan syahwat laki-laki asing dan mempersembahkan hanya untuk suaminya., tak sampai di situ pandangan dan pergaulan dengan lawan jenisnya pun ia jaga, cukup jauh dari perilaku wanita bercadar yang ditampilkan di film-film tersebut…
Ia akan tetap suci…
Disyari’atkan oleh Dzat yang Maha Suci
Agar Makhluk yang disayangi-Nya tetap suci
Ia tak pernah khilaf dan salah
Yang bersalah hanyalah pelaku dosa
Epilog: sesuatu yang saya khawatirkan bukan lagi jilbab-jilbab gaul yang sudah bertebaran tapi munculnya cadar-cadar gaul. Wallahu musta’an.(AF)
sumber : wimakassar.org
Kamis, 23 Oktober 2008
Hari Ini, Sudahkah Anda Berdoa?
Dalam seluruh kisah hidup kita, kita adalah sekumpulan hamba yang lemah dan fakir. Kita lemah, karena kita seringkali tidak mengerti apa yang terbaik untuk hidup kita. Bersyukurlah Allah mengutus para Rasul membawa panduan ilahi untuk menunjukkan jalan keselamatan itu. Meski demikian, kita toh lebih sering tidak mengerti (atau tidak mau mengerti) bahwa yang terbaik untuk hidup kita adalah menjalankan seluruh panduan ilahi itu. Buktinya, di tengah petunjuk dan panduan ilahi yang jelas itu, kita lebih sering mengikuti dorongan nafsu yang keji.
Kita lemah, karena kita tidak tahu bagaimana jadinya jika Allah Ta’ala melepaskan seluruh nikmat yang selama ini ia berikan kepada kita. Jika saja Allah mencabut nikmat kesehatan dan kesadaran berpikir dari diri ini. Jika saja Allah mencabut satu per satu fungsi tubuh kita. Jika saja Allah mencabut satu demi satu nikmat-nikmat penunjang kehidupan ini: udara, cahaya, air, dan yang lainnya.
Dan yang sungguh mengerikan, seperti apa hidup ini jika saja Allah mencabut nikmat hidayah dari hati kita yang lemah ini. Duhai Allah, jangan pernah itu terjadi dalam hidup kami…
Karena itu semua, kita sungguh fakir kepada Allah. Dalam seluruh sisi kehidupan ini, kita sangat fakir kepada-Nya. Namun, banyak manusia yang tidak menyadari ini; menyadari kelemahan dan kefakiran mereka kepada Allah. Namun bagi para ahli Tauhid, kefakiran pada Allah adalah sebuah kekuatan. Semakin dahsyat seorang hamba menunjukkan kefakirannya pada Allah Ta’ala, maka semakin dahsyat kekuatan sang hamba menjalani kehidupannya. Sebaliknya, semakin berlagak seorang hamba-bahwa ia tidak fakir kepada Rabbnya-, maka semakin terhina dan lemah dirinya menjalani hidup yang singkat ini.
Itulah sebabnya, inti kekuatan seorang hamba sesungguhnya terletak pada bagaimana ia membuktikan eksistensinya sebagai hamba yang lemah dan fakir di hadapan Dzat yang menguasainya. Mengapa? Sebab itu berarti sang hamba mengakui keMahaperkasaan dan keMahakuasaan Allah. Jika sudah demikian, maka kekuatan dari Yang Mahakuat akan mengalir dan terlimpahkan kepadanya di sepanjang usia.
Maka di sinilah inti pengulangan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in di sepanjang hari seorang muslim. Demi mengingatkan jiwa-jiwa kita sekalian: betapa pengakuan kehambaan haruslah seimbang dengan permohonan dan permintaan tolong kepada Sang Penguasa jagat raya. Dalam kisah kefakiran sang hamba, meminta tolong kepada Allah Ta’ala adalah hal yang mutlak. Dan-sekali lagi-bukan wujud kehinaan. Ia adalah jalan kemuliaan.
Antumul fuqara’ ilallah. Kalianlah yang fakir kepada Allah. Sudahkah kita membuktikan bahwa kita mengakui kefakiran kita pada-Nya? Sekali lagi, satu-satunya jalan untuk mendapatkan pertolongan, ‘inayah dan taufiq-Nya hanyalah dengan merendah serendah-rendahnya dan menghinakan diri sehina-hinanya di hadapan Allah Ta’ala.
Baiklah, mungkin kita akan mengawali pembuktian itu secara sederhana saja. Yah, sangat sederhana, sehingga kita seringkali melalaikan dan meremehkannya. Sudahkah Anda berdoa hari ini? Oh, tidak. Bukan doa dan dzikir yang Anda baca dalam shalat fardhu. Tapi berdoa dalam pengertian ketika Anda benar-benar merasa kekurangan sesuatu atau menginginkan sesuatu yang tak tersebutkan dalam shalat itu.
Pernahkah di suatu pagi, ketika Anda ingin sarapan, lalu tidak menemukan apa-apa, kemudian Anda menengadahkan tangan memohon pada-Nya?
Pernahkah di suatu pagi, saat Anda tergesa ke kantor atau ke kampus, dan tiba-tiba ban kendaraan Anda meletus; pernahkah Anda berhenti sejenak untuk mengucapkan: “Ya Allah, mudahkanlah urusanku, tambalkanlah ban kendaraanku yang bocor ini”?
Pernahkah di suatu sore, ketika tiba-tiba anak Anda demam, lalu Anda memohon dengan khusyu’: “Ya Allah, Dzat yang Maha menyembuhkan, sembuhkanlah anakku ini”?
Benar sekali. Dalam hal-hal yang remeh seperti ini, kita sering lupa untuk berdoa dan meminta kepada Allah. Apakah karena kita ingin mendapatkan solusi sekejap mata dan kita menganggap “tidak ada gunanya” berdoa untuk hal semacam itu karena “biasanya” tidak segera dikabulkan? Wal ‘iyadzu billah. Sungguh kelihatannya begitu halus. Tapi cara pandang seperti ini bukankah sering menjadi “aqidah” kita terhadap doa? Wallahul musta’an.
Ibn Rajab al-Hanbaly dalam Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, pernah mengisahkan bahwa seorang ulama salaf bahkan berdoa dan memohon kepada Allah-saat tali sendalnya putus-agar Ia berkenan menyambungkan tali sandal itu. Bukankah ini begitu remeh? Tapi bagi para salaf, pengabulan doa itu mungkin menempati urutan kesekian, sebab prioritas utama mereka dalam kondisi semacam ini adalah bagaimana membuktikan Tauhid mereka kepada Allah. Bahwa jiwa dan raga mereka sepenuhnya bersandar penuh kefakiran pada Allah Rabbul ‘alamin, di setiap waktu dan tempat. Yah, dan hanya itu obsesi dari setiap doa mereka. Itulah sebabnya ‘Umar ibn al-Khathab radhiyallahu ‘anhu pernah pula mengungkapkan:
“Sesungguhnya (dalam berdoa), aku tidak pernah membawa obsesi pengabulan doa itu, namun yang menjadi obsesiku adalah doa itu sendiri.”
Subhanallah. Beliau tak peduli apakah doa itu segera dikabulkan di dunia ini atau tidak. Karena yang penting, di saat memanjatkan doa-sekecil apapun-, ia telah membuktikan penghambaan dan kefakirannya di hadapan Allah. Bukankah doa itu adalah ibadah?
Nah, saudaraku, hari ini, sudahkah kita berdoa?
Abul Miqdad al-Madany
(sumber: abul-miqdad.blogspot.com)
Kita lemah, karena kita tidak tahu bagaimana jadinya jika Allah Ta’ala melepaskan seluruh nikmat yang selama ini ia berikan kepada kita. Jika saja Allah mencabut nikmat kesehatan dan kesadaran berpikir dari diri ini. Jika saja Allah mencabut satu per satu fungsi tubuh kita. Jika saja Allah mencabut satu demi satu nikmat-nikmat penunjang kehidupan ini: udara, cahaya, air, dan yang lainnya.
Dan yang sungguh mengerikan, seperti apa hidup ini jika saja Allah mencabut nikmat hidayah dari hati kita yang lemah ini. Duhai Allah, jangan pernah itu terjadi dalam hidup kami…
Karena itu semua, kita sungguh fakir kepada Allah. Dalam seluruh sisi kehidupan ini, kita sangat fakir kepada-Nya. Namun, banyak manusia yang tidak menyadari ini; menyadari kelemahan dan kefakiran mereka kepada Allah. Namun bagi para ahli Tauhid, kefakiran pada Allah adalah sebuah kekuatan. Semakin dahsyat seorang hamba menunjukkan kefakirannya pada Allah Ta’ala, maka semakin dahsyat kekuatan sang hamba menjalani kehidupannya. Sebaliknya, semakin berlagak seorang hamba-bahwa ia tidak fakir kepada Rabbnya-, maka semakin terhina dan lemah dirinya menjalani hidup yang singkat ini.
Itulah sebabnya, inti kekuatan seorang hamba sesungguhnya terletak pada bagaimana ia membuktikan eksistensinya sebagai hamba yang lemah dan fakir di hadapan Dzat yang menguasainya. Mengapa? Sebab itu berarti sang hamba mengakui keMahaperkasaan dan keMahakuasaan Allah. Jika sudah demikian, maka kekuatan dari Yang Mahakuat akan mengalir dan terlimpahkan kepadanya di sepanjang usia.
Maka di sinilah inti pengulangan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in di sepanjang hari seorang muslim. Demi mengingatkan jiwa-jiwa kita sekalian: betapa pengakuan kehambaan haruslah seimbang dengan permohonan dan permintaan tolong kepada Sang Penguasa jagat raya. Dalam kisah kefakiran sang hamba, meminta tolong kepada Allah Ta’ala adalah hal yang mutlak. Dan-sekali lagi-bukan wujud kehinaan. Ia adalah jalan kemuliaan.
Antumul fuqara’ ilallah. Kalianlah yang fakir kepada Allah. Sudahkah kita membuktikan bahwa kita mengakui kefakiran kita pada-Nya? Sekali lagi, satu-satunya jalan untuk mendapatkan pertolongan, ‘inayah dan taufiq-Nya hanyalah dengan merendah serendah-rendahnya dan menghinakan diri sehina-hinanya di hadapan Allah Ta’ala.
Baiklah, mungkin kita akan mengawali pembuktian itu secara sederhana saja. Yah, sangat sederhana, sehingga kita seringkali melalaikan dan meremehkannya. Sudahkah Anda berdoa hari ini? Oh, tidak. Bukan doa dan dzikir yang Anda baca dalam shalat fardhu. Tapi berdoa dalam pengertian ketika Anda benar-benar merasa kekurangan sesuatu atau menginginkan sesuatu yang tak tersebutkan dalam shalat itu.
Pernahkah di suatu pagi, ketika Anda ingin sarapan, lalu tidak menemukan apa-apa, kemudian Anda menengadahkan tangan memohon pada-Nya?
Pernahkah di suatu pagi, saat Anda tergesa ke kantor atau ke kampus, dan tiba-tiba ban kendaraan Anda meletus; pernahkah Anda berhenti sejenak untuk mengucapkan: “Ya Allah, mudahkanlah urusanku, tambalkanlah ban kendaraanku yang bocor ini”?
Pernahkah di suatu sore, ketika tiba-tiba anak Anda demam, lalu Anda memohon dengan khusyu’: “Ya Allah, Dzat yang Maha menyembuhkan, sembuhkanlah anakku ini”?
Benar sekali. Dalam hal-hal yang remeh seperti ini, kita sering lupa untuk berdoa dan meminta kepada Allah. Apakah karena kita ingin mendapatkan solusi sekejap mata dan kita menganggap “tidak ada gunanya” berdoa untuk hal semacam itu karena “biasanya” tidak segera dikabulkan? Wal ‘iyadzu billah. Sungguh kelihatannya begitu halus. Tapi cara pandang seperti ini bukankah sering menjadi “aqidah” kita terhadap doa? Wallahul musta’an.
Ibn Rajab al-Hanbaly dalam Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, pernah mengisahkan bahwa seorang ulama salaf bahkan berdoa dan memohon kepada Allah-saat tali sendalnya putus-agar Ia berkenan menyambungkan tali sandal itu. Bukankah ini begitu remeh? Tapi bagi para salaf, pengabulan doa itu mungkin menempati urutan kesekian, sebab prioritas utama mereka dalam kondisi semacam ini adalah bagaimana membuktikan Tauhid mereka kepada Allah. Bahwa jiwa dan raga mereka sepenuhnya bersandar penuh kefakiran pada Allah Rabbul ‘alamin, di setiap waktu dan tempat. Yah, dan hanya itu obsesi dari setiap doa mereka. Itulah sebabnya ‘Umar ibn al-Khathab radhiyallahu ‘anhu pernah pula mengungkapkan:
“Sesungguhnya (dalam berdoa), aku tidak pernah membawa obsesi pengabulan doa itu, namun yang menjadi obsesiku adalah doa itu sendiri.”
Subhanallah. Beliau tak peduli apakah doa itu segera dikabulkan di dunia ini atau tidak. Karena yang penting, di saat memanjatkan doa-sekecil apapun-, ia telah membuktikan penghambaan dan kefakirannya di hadapan Allah. Bukankah doa itu adalah ibadah?
Nah, saudaraku, hari ini, sudahkah kita berdoa?
Abul Miqdad al-Madany
(sumber: abul-miqdad.blogspot.com)
Karena Setiap Orang Menyimpan Setitik Kebaikan dalam Jiwanya
Tidak semua manusia dipilih oleh Allah untuk kembali ke jalan yang lurus dan mengenal manhaj yang benar. Maka saat Allah menuntun hidup kita untuk berjalan, berbuat, bekerja, berpikir, dan berbicara sesuai dengan manhaj salaf yang shalih; itu berarti ada nikmat yang tak terkira besarnya yang harus kita syukuri. Yah, karena –sadar atau tidak- sebenarnya kita telah menjadi pilihan-pilihan Allah di bumi. Di saat banyak saudara-saudari muslim kita yang sadar untuk memperjuangkan Islam dengan manhaj apa saja, kita disadarkan oleh Allah bahwa “Generasi akhir ummat ini tidak akan menjadi generasi yang shaleh dan jaya kecuali dengan jalan yang ditempuh oleh generasi awalnya” (La yashluhu akhiru hadzihil ummah illa bima shaluha bihi awwaluha).
Dampaknya, kita merasakan keizzahan yang luar biasa dahsyatnya dalam diri kita. Kita bangga berpenampilan sebagai salah seorang ikhwan. Kita merasa mulia saat mewujud sebagai salah satu bagian dari komunitas akhawat. Salahkah? Sampai di sini mungkin tidak ada masalah. Hanya saja seringkali keizzahan itu melanggar batas-batas yang semestinya. Keizzahan itu seringkali menyeret kita menjadi merasa shaleh sendiri dan memandang rendah orang lain yang berada di luar komunitas keshalehan kita. Mungkin tidak terungkapkan dengan kata-kata, tapi ia bersembunyi dalam gerakan-gerakan hati kita. Bahkan lebih parah lagi, obsesi keshalehan kita yang begitu tinggi membuat kita memandang orang lain “yang belum shaleh” sebagai makhluk-makhluk yang sudah tidak punya harapan lagi. Kita sering menjadi “buta” tiba-tiba hingga tidak lagi melihat ada celah buat mereka untuk kembali. Kita lupa, bahwa setiap orang sesungguhnya punya setitik kebaikan itu dalam dirinya…
Izinkanlah saya untuk mengutip kisah yang sungguh-sungguh menggugah saya tentang hal ini. Sebuah kisah yang benar-benar menampar kesombongan kita yang bersembunyi di balik keshalehan lahiriah kita. Kisah ini sendiri adalah kisah nyata seorang ulama Ahlussunnah, Syekh Ahmad bin Abdurrahman Ash-Shuwayyan, yang diungkapnya dalam buku berjudul Fi al-Bina’ al-Da’wy. Kisahnya sebagai berikut…
Hari itu saya kembali dari sebuah perjalanan yang panjang. Dan di pesawat, Allah menakdirkan saya untuk duduk di samping sekelompok pemuda yang nampaknya senang sekali berfoya-foya dan berhura-hura. Tawa mereka sangat keras. Dan kegaduhan mereka pun semakin lama semakin menjadi-jadi. Kabin pesawat pun dengan cepat menjadi ruangan yang dipenuhi asap rokok mereka. Dan tampaknya sudah menjadi hikmah Allah bahwa pesawat itu benar-benar penuh, hingga tidak memungkinkan bagi saya untuk mencari tempat duduk lain.
Saya berusaha keras untuk lari dari ‘kesempitan’ ini dengan tidur. Tapi, mustahil dan sangat mustahil saya bisa tidur dalam suasana seperti itu. Maka ketika kegaduhan itu semakin membuat kejengkelan saya memuncak, saya pun mengeluarkan mushaf al-Qur’an, lalu membacanya dengan suara yang rendah. Ternyata, tidak lama kemudian sebagian dari anak-anak muda itupun mulai tenang. Sementara sebagian yang lain mulai membaca surat kabar, dan adapula yang mulai tidur dengan lelap.
Namun, tiba-tiba, salah seorang dari mereka berbicara dengan suara keras –dan ia duduk tepat di samping saya!- : “Cukup!…Cukup!” Saya menduga suara saya terlalu keras hingga mengganggunya. Saya meminta maaf padanya. Saya pun kembali melanjutkan bacaan saya dengan suara yang membisik hingga hanya saya sendirilah yang mendengarnya. Tapi saya lihat ia menutupi kepalanya dengan kedua tangannya. Duduknya gelisah. Tidak pernah diam dan terus bergerak. Hingga ia kemudian mengangkat kepalanya dan berkata dengan penuh emosi: “Tolong! Cukuplah sudah! Cukup! Saya sudah tidak bisa bersabar lagi!”
Ia kemudian berdiri dari tempat duduknya, lalu menghilang selama beberapa lama. Tidak lama kemudian ia kembali lagi, mengucapkan salam kepada saya sembari meminta maaf. Ia terdiam. Dan saya tidak tahu apa sebenarnya yang telah terjadi. Tapi sejenak kemudian ia menoleh pada saya, dan matanya basah oleh air mata. Ia berkata sambil berbisik: “Tiga tahun lamanya, bahkan lebih…Aku tak pernah meletakkan keningku di tanah…Aku tak pernah membaca satu ayat pun! Dan…satu bulan penuh ini aku habiskan dalam perjalanan ini…tidak satupun kemaksiatan yang tidak kukerjakan. Hingga aku pun melihatmu membaca al-Qur’an…Tiba-tiba saja dunia menjadi gelap di hadapanku…dadaku sesak…Aku merasa seperti tercekik. Iya, aku merasakan setiap ayat yang engkau baca menhantam tubuhku bagai cambuk..! Aku berkata pada diriku sendiri: Sampai kapan kelalaian ini?! Kemana aku akan berjalan di jalan ini?! Lalu apa setelah semua kelalaian dan kesenangan ini?! Hingga aku pun segera lari ke kamar kecil. Anda tahu kenapa?! Karena aku merasa sangat ingin menangis. Dan aku tidak menemukan tempat sembunyi dari pandangan orang lain selain di tempat itu!!”
Demikian ia berbicara padaku…Aku pun menyampaikan kalimat-kalimat seputar taubat dan kembali pada Allah…Dan ia pun terdiam. Ketika pesawat mendarat di bumi, pemuda itu menghentikanku. Nampak sekali ia ingin menjauh dari teman-temannya. Ia bertanya padaku, dan wajahnya menampakkan air muka yang sangat serius: “Menurut Anda, apakah Allah masih berkenan menerima taubatku?” Aku berkata padanya: “Jika engkau jujur dan sungguh-sungguh ingin kembali pada Allah, maka Allah akan mengampuni dosa apapun.” “Tapi aku telah melakukan terlalu banyak dosa…dosa-dosa yang begitu besar…,” ujarnya.
“Apakah engkau pernah mendengar firman Allah: “Katakanlah: Wahai hamba-hambaKu yang telah melampaui batas atas diri mereka, janganlah kalian putus asa akan rahmat Allah, sesungguhnya Allah akan mengampuni semua dosa. Sesungguhnya Dia Mahapengampun lagi Mahapengasih.” (Az-Zumar:53??” ujarku.
Kulihat wajahnya tersenyum penuh kebahagiaan. Kedua matanya berkaca dipenuhi air mata. Ia lalu mengucapkan selamat tinggal, dan pergi berlalu… Maha suci Allah yang Mahaagung! Begitulah manusia. Sejauh dan setinggi apapun kedurhakaan yang telah ia lalui dan daki, tapi selalu saja ada celah kebaikan dalam jiwanya. Andai saja kita dapat berusaha sampai ke sana, lalu menyianginya dengan cinta, ia akan tumbuh dengan izin Allah.
Membaca kisah ini, membuat kita harus melihat ulang rasa izzah akan keikhwanan dan keakhawatan kita. Karena saat izzah itu menjelma menjadi kesombongan, ia tidak lagi perlu dibanggakan. Kebanggaan semacam itu hanya membuat kita meremehkan manusia lain, yang boleh jadi saat hidayah Allah bersemayam di hatinya, ia akan menjejakkan kakinya di surga terlebih dulu dibanding kita. “Izzah” seperti itu hanya akan menyebabkan kita menjadi penghalang manusia untuk meraih hidayah Allah.
Wallahul musta’an.
oleh : Muhammad Ihsan Zainuddin
Cipinang Muara, 24 Shafar 1426/24 Maret 2006
(sumber: abul-miqdad.blogspot.com)
Dampaknya, kita merasakan keizzahan yang luar biasa dahsyatnya dalam diri kita. Kita bangga berpenampilan sebagai salah seorang ikhwan. Kita merasa mulia saat mewujud sebagai salah satu bagian dari komunitas akhawat. Salahkah? Sampai di sini mungkin tidak ada masalah. Hanya saja seringkali keizzahan itu melanggar batas-batas yang semestinya. Keizzahan itu seringkali menyeret kita menjadi merasa shaleh sendiri dan memandang rendah orang lain yang berada di luar komunitas keshalehan kita. Mungkin tidak terungkapkan dengan kata-kata, tapi ia bersembunyi dalam gerakan-gerakan hati kita. Bahkan lebih parah lagi, obsesi keshalehan kita yang begitu tinggi membuat kita memandang orang lain “yang belum shaleh” sebagai makhluk-makhluk yang sudah tidak punya harapan lagi. Kita sering menjadi “buta” tiba-tiba hingga tidak lagi melihat ada celah buat mereka untuk kembali. Kita lupa, bahwa setiap orang sesungguhnya punya setitik kebaikan itu dalam dirinya…
Izinkanlah saya untuk mengutip kisah yang sungguh-sungguh menggugah saya tentang hal ini. Sebuah kisah yang benar-benar menampar kesombongan kita yang bersembunyi di balik keshalehan lahiriah kita. Kisah ini sendiri adalah kisah nyata seorang ulama Ahlussunnah, Syekh Ahmad bin Abdurrahman Ash-Shuwayyan, yang diungkapnya dalam buku berjudul Fi al-Bina’ al-Da’wy. Kisahnya sebagai berikut…
Hari itu saya kembali dari sebuah perjalanan yang panjang. Dan di pesawat, Allah menakdirkan saya untuk duduk di samping sekelompok pemuda yang nampaknya senang sekali berfoya-foya dan berhura-hura. Tawa mereka sangat keras. Dan kegaduhan mereka pun semakin lama semakin menjadi-jadi. Kabin pesawat pun dengan cepat menjadi ruangan yang dipenuhi asap rokok mereka. Dan tampaknya sudah menjadi hikmah Allah bahwa pesawat itu benar-benar penuh, hingga tidak memungkinkan bagi saya untuk mencari tempat duduk lain.
Saya berusaha keras untuk lari dari ‘kesempitan’ ini dengan tidur. Tapi, mustahil dan sangat mustahil saya bisa tidur dalam suasana seperti itu. Maka ketika kegaduhan itu semakin membuat kejengkelan saya memuncak, saya pun mengeluarkan mushaf al-Qur’an, lalu membacanya dengan suara yang rendah. Ternyata, tidak lama kemudian sebagian dari anak-anak muda itupun mulai tenang. Sementara sebagian yang lain mulai membaca surat kabar, dan adapula yang mulai tidur dengan lelap.
Namun, tiba-tiba, salah seorang dari mereka berbicara dengan suara keras –dan ia duduk tepat di samping saya!- : “Cukup!…Cukup!” Saya menduga suara saya terlalu keras hingga mengganggunya. Saya meminta maaf padanya. Saya pun kembali melanjutkan bacaan saya dengan suara yang membisik hingga hanya saya sendirilah yang mendengarnya. Tapi saya lihat ia menutupi kepalanya dengan kedua tangannya. Duduknya gelisah. Tidak pernah diam dan terus bergerak. Hingga ia kemudian mengangkat kepalanya dan berkata dengan penuh emosi: “Tolong! Cukuplah sudah! Cukup! Saya sudah tidak bisa bersabar lagi!”
Ia kemudian berdiri dari tempat duduknya, lalu menghilang selama beberapa lama. Tidak lama kemudian ia kembali lagi, mengucapkan salam kepada saya sembari meminta maaf. Ia terdiam. Dan saya tidak tahu apa sebenarnya yang telah terjadi. Tapi sejenak kemudian ia menoleh pada saya, dan matanya basah oleh air mata. Ia berkata sambil berbisik: “Tiga tahun lamanya, bahkan lebih…Aku tak pernah meletakkan keningku di tanah…Aku tak pernah membaca satu ayat pun! Dan…satu bulan penuh ini aku habiskan dalam perjalanan ini…tidak satupun kemaksiatan yang tidak kukerjakan. Hingga aku pun melihatmu membaca al-Qur’an…Tiba-tiba saja dunia menjadi gelap di hadapanku…dadaku sesak…Aku merasa seperti tercekik. Iya, aku merasakan setiap ayat yang engkau baca menhantam tubuhku bagai cambuk..! Aku berkata pada diriku sendiri: Sampai kapan kelalaian ini?! Kemana aku akan berjalan di jalan ini?! Lalu apa setelah semua kelalaian dan kesenangan ini?! Hingga aku pun segera lari ke kamar kecil. Anda tahu kenapa?! Karena aku merasa sangat ingin menangis. Dan aku tidak menemukan tempat sembunyi dari pandangan orang lain selain di tempat itu!!”
Demikian ia berbicara padaku…Aku pun menyampaikan kalimat-kalimat seputar taubat dan kembali pada Allah…Dan ia pun terdiam. Ketika pesawat mendarat di bumi, pemuda itu menghentikanku. Nampak sekali ia ingin menjauh dari teman-temannya. Ia bertanya padaku, dan wajahnya menampakkan air muka yang sangat serius: “Menurut Anda, apakah Allah masih berkenan menerima taubatku?” Aku berkata padanya: “Jika engkau jujur dan sungguh-sungguh ingin kembali pada Allah, maka Allah akan mengampuni dosa apapun.” “Tapi aku telah melakukan terlalu banyak dosa…dosa-dosa yang begitu besar…,” ujarnya.
“Apakah engkau pernah mendengar firman Allah: “Katakanlah: Wahai hamba-hambaKu yang telah melampaui batas atas diri mereka, janganlah kalian putus asa akan rahmat Allah, sesungguhnya Allah akan mengampuni semua dosa. Sesungguhnya Dia Mahapengampun lagi Mahapengasih.” (Az-Zumar:53??” ujarku.
Kulihat wajahnya tersenyum penuh kebahagiaan. Kedua matanya berkaca dipenuhi air mata. Ia lalu mengucapkan selamat tinggal, dan pergi berlalu… Maha suci Allah yang Mahaagung! Begitulah manusia. Sejauh dan setinggi apapun kedurhakaan yang telah ia lalui dan daki, tapi selalu saja ada celah kebaikan dalam jiwanya. Andai saja kita dapat berusaha sampai ke sana, lalu menyianginya dengan cinta, ia akan tumbuh dengan izin Allah.
Membaca kisah ini, membuat kita harus melihat ulang rasa izzah akan keikhwanan dan keakhawatan kita. Karena saat izzah itu menjelma menjadi kesombongan, ia tidak lagi perlu dibanggakan. Kebanggaan semacam itu hanya membuat kita meremehkan manusia lain, yang boleh jadi saat hidayah Allah bersemayam di hatinya, ia akan menjejakkan kakinya di surga terlebih dulu dibanding kita. “Izzah” seperti itu hanya akan menyebabkan kita menjadi penghalang manusia untuk meraih hidayah Allah.
Wallahul musta’an.
oleh : Muhammad Ihsan Zainuddin
Cipinang Muara, 24 Shafar 1426/24 Maret 2006
(sumber: abul-miqdad.blogspot.com)
Kamis, 28 Agustus 2008
Yang Tegar sampai Akhir
Lelaki itu setidaknya telah menghadapi cobaan dari empat khalifah sekaligus. Di antara keempatnya ada yang mengancam dan menteror; ada yang memukul dan memasukkannya ke penjara; ada yang menggiring dan berlaku kasar kepadanya; dan yang terakhir mengimingnya kekuasaan dan harta benda. Namun semua itu, hanya semakin menjadikannya tegar di jalan Allah.
Demikianlah memang.
Dan begitulah seharusnya jalan kehidupan para pembesar yang menjadi ikutan. Mereka adalah pemilik cita-cita mulia. Dan demi cita-cita itu mereka mengganggap enteng semua rintangan, meremehkan semua rasa sakit. Karena itu, kita selalu melihat mereka memiliki iradah yang kuat, berkemauan baja, memiliki energi yang konstan tidak gampang larut oleh bujukan, serta tidak mudah lesu dengan berbagai rintangan yang menghadang.
Padahal kalau mau, mereka bisa saja bergeser sedikit saja dari ketinggian cita-cita dan pasti gelar kebesaran tetap akan disandangnya. Tapi mereka tahu persis bukan gelar kebesaran itu yang menjadikan mereka mulia di sisi Rabbnya. Apa arti semua 'gelar kebesaran' itu kalau itu hanya akan menyesatkan ummat yang berqudwah kepada mereka dan yang pasti mereka akan dicampakkan dalam hina di akhirat nanti. Begitulah memang selalu keadaan para pemilik cita-cita mulia. Sebab yang senantiasa tegambar dalam benak mereka adalah keabadian akhirat. Di sanalah jiwa-jiwa mereka terpaut, di sanalah kerinduan mereka senantiasa tertambat. Itulah sebabnya, mereka selalu menganggap enteng dunia ini beserta segala pernik-perniknya. Ketika mereka dalam keadaan sulit, kerinduan itu justru semakin membuncah. Dunia dalam pandangannya hanya sekedar wasilah meraih akhirat. Dunia mungkin hadir dalam kehidupan keseharian mereka; dunia mungkin mengalir begitu deras melalui tangannya; bahkan mungkin dunia datang bermohon agar ia bisa 'bersemayam' dalam kehidupan mereka. Tapi, jika itu semua bisa memalingkan dari cita-cita mulianya, maka mereka tidak segan-segan mengucapkan 'selamat tinggal' kepada dunia.Dan memang inilah yang dialami oleh Imam Ahmad bin Hambal-lelaki agung itu-.
Setelah beliau diteror dengan ancaman hukuman mati oleh al-Ma'mum, disiksa oleh oleh al-Mu'tashim, dan diasingkan oleh al-Watsiiq karena mempertahankan pendapatnya bahwa al-Qur'an adalah kalaamullah, maka datanglah al-Mutawakkil 'teror' yang lain. Meski khalifah yang terakhir ini tidak menteror dan menyiksanya, namun ini cukup 'menggusarkan' beliau. Betapa tidak, setelah teror dan siksaan tidak membuatnya bergeming dari pendapatnya, al-Mutawakkil justru datang memberi 'dunia' kepada beliau. Bukan agar beliau mengubah pendapatnya, tapi sebagai bentuk konpensasi sang khalifah atas perlakuan zalim yang diperbuat oleh para pendahulunya.
Akhirnya suatu ketika dikala beliau memenuhi panggilan khalifah. Beliau diberi baju, uang dirham, dan mantel oleh al-Mutawakkil, namun beliau justru menangis seraya berkata, ”Sejak enampuluh tahun aku bisa selamat dari ini semua, akan tetapi dipenghujung usiaku, Engkau menguji aku dengan ini”. Bahkan, begitu ia mendengar salah seorang putranya membangun rumah dari uang pemberian al-Mutawakkil, beliau tidak pernah menginjakkan kakinya di rumah itu sampai beliau meninggal dunia. Tentu, tidak ada yang keliru dari pemberian itu, namun begitulah selalu pemilik himmatul 'aliyah (semangat yang tinggi). Obsesi akhirat mereka selalu berhasil memadamkan kilau dunia yang menyilaukan.
(sumber:majalah al-bashirah)
Demikianlah memang.
Dan begitulah seharusnya jalan kehidupan para pembesar yang menjadi ikutan. Mereka adalah pemilik cita-cita mulia. Dan demi cita-cita itu mereka mengganggap enteng semua rintangan, meremehkan semua rasa sakit. Karena itu, kita selalu melihat mereka memiliki iradah yang kuat, berkemauan baja, memiliki energi yang konstan tidak gampang larut oleh bujukan, serta tidak mudah lesu dengan berbagai rintangan yang menghadang.
Padahal kalau mau, mereka bisa saja bergeser sedikit saja dari ketinggian cita-cita dan pasti gelar kebesaran tetap akan disandangnya. Tapi mereka tahu persis bukan gelar kebesaran itu yang menjadikan mereka mulia di sisi Rabbnya. Apa arti semua 'gelar kebesaran' itu kalau itu hanya akan menyesatkan ummat yang berqudwah kepada mereka dan yang pasti mereka akan dicampakkan dalam hina di akhirat nanti. Begitulah memang selalu keadaan para pemilik cita-cita mulia. Sebab yang senantiasa tegambar dalam benak mereka adalah keabadian akhirat. Di sanalah jiwa-jiwa mereka terpaut, di sanalah kerinduan mereka senantiasa tertambat. Itulah sebabnya, mereka selalu menganggap enteng dunia ini beserta segala pernik-perniknya. Ketika mereka dalam keadaan sulit, kerinduan itu justru semakin membuncah. Dunia dalam pandangannya hanya sekedar wasilah meraih akhirat. Dunia mungkin hadir dalam kehidupan keseharian mereka; dunia mungkin mengalir begitu deras melalui tangannya; bahkan mungkin dunia datang bermohon agar ia bisa 'bersemayam' dalam kehidupan mereka. Tapi, jika itu semua bisa memalingkan dari cita-cita mulianya, maka mereka tidak segan-segan mengucapkan 'selamat tinggal' kepada dunia.Dan memang inilah yang dialami oleh Imam Ahmad bin Hambal-lelaki agung itu-.
Setelah beliau diteror dengan ancaman hukuman mati oleh al-Ma'mum, disiksa oleh oleh al-Mu'tashim, dan diasingkan oleh al-Watsiiq karena mempertahankan pendapatnya bahwa al-Qur'an adalah kalaamullah, maka datanglah al-Mutawakkil 'teror' yang lain. Meski khalifah yang terakhir ini tidak menteror dan menyiksanya, namun ini cukup 'menggusarkan' beliau. Betapa tidak, setelah teror dan siksaan tidak membuatnya bergeming dari pendapatnya, al-Mutawakkil justru datang memberi 'dunia' kepada beliau. Bukan agar beliau mengubah pendapatnya, tapi sebagai bentuk konpensasi sang khalifah atas perlakuan zalim yang diperbuat oleh para pendahulunya.
Akhirnya suatu ketika dikala beliau memenuhi panggilan khalifah. Beliau diberi baju, uang dirham, dan mantel oleh al-Mutawakkil, namun beliau justru menangis seraya berkata, ”Sejak enampuluh tahun aku bisa selamat dari ini semua, akan tetapi dipenghujung usiaku, Engkau menguji aku dengan ini”. Bahkan, begitu ia mendengar salah seorang putranya membangun rumah dari uang pemberian al-Mutawakkil, beliau tidak pernah menginjakkan kakinya di rumah itu sampai beliau meninggal dunia. Tentu, tidak ada yang keliru dari pemberian itu, namun begitulah selalu pemilik himmatul 'aliyah (semangat yang tinggi). Obsesi akhirat mereka selalu berhasil memadamkan kilau dunia yang menyilaukan.
(sumber:majalah al-bashirah)
Rabu, 27 Agustus 2008
Ghuroba' (Orang-orang Asing)
Ghuroba.......
Ghuroba itu...... tidak meletakkan keningnya (untuk sujud) selain kepada Allah
Ghuroba itu...... kami telah ridho menjadikannya motto kehidupan
Kalau engkau bertanya tentang kami, maka sesungguhnya kami tidak pernah gentar terhadap thoghut
Selamanya kami adalah TENTARA ALLAH, jalan kami adalah jalan yang terang/bersinar
Ghuroba........
Kami tidak peduli dengan ikatan, akan tetapi kami akan pergi untuk sesuatu yang kekal
Tapi kami tetap berjihad menantang dan kembali berperang
Ghuroba..... beginilah hakikat orang-orang merdeka di dunia yang akan berlalu
Ghuroba......
Betapa kami selalu mengingat hari-hari penuh kebahagiaan, membaca kitabullah setiap pagi dan sore.
Ghuroba.............
(arti nasyid "Ghuroba")
Ghuroba itu...... tidak meletakkan keningnya (untuk sujud) selain kepada Allah
Ghuroba itu...... kami telah ridho menjadikannya motto kehidupan
Kalau engkau bertanya tentang kami, maka sesungguhnya kami tidak pernah gentar terhadap thoghut
Selamanya kami adalah TENTARA ALLAH, jalan kami adalah jalan yang terang/bersinar
Ghuroba........
Kami tidak peduli dengan ikatan, akan tetapi kami akan pergi untuk sesuatu yang kekal
Tapi kami tetap berjihad menantang dan kembali berperang
Ghuroba..... beginilah hakikat orang-orang merdeka di dunia yang akan berlalu
Ghuroba......
Betapa kami selalu mengingat hari-hari penuh kebahagiaan, membaca kitabullah setiap pagi dan sore.
Ghuroba.............
(arti nasyid "Ghuroba")
Kamis, 03 Juli 2008
Di Sepanjang Usia Muda Kita
Inilah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, mengisahkan sepenggal suasana dari suasana-suasana Mahsyar. Hari itu, jarak matahari tidak lagi dihitung puluhan kilometer dari bumi, tapi bahkan lebih dekat lagi. Siapapun bisa menerka betapa dahsyatnya terik panas itu. Hingga kucuran keringat mampu menenggelamkan pemiliknya. Sampai ada yang berharap, jika memang dirinya penghuni neraka, minta untuk segera dimasukkan saja ke sana, karena sudah tidak tahan merasakan bara panas daratan Mahsyar.
Sebuah persangkaan keliru memang. Namun ini cukup menggambarkan kedahsyatan suasana di padang luas itu, pada hari itu. Tapi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dalam suasana semacam itu, ’menghembuskan’ kabar menyejukkan ke dalam dada setiap sahabat, yang telah merasakan manisnya keimanan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkisah akan hari itu, bahwa ternyata ada hamba, yang justru menikmati keteduhan dan sejuknya bernaung di bawah ’arsy Allah 'azza wa jalla. Tentu mereka yang merasakan itu, bukan orang sembarangan. Tapi mereka adalah hamba pilihan, yang memang dikenal kedekatan mereka dengan Rabbnya.
Tujuh kriteria hamba yang disebutkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, yang akan mendapatkan keutamaan zhilâl (naungan) itu, sebelum mereka bernikmat-nikmat di dalam jannah-Nya. Satu diantaranya,
”Pemuda yang tumbuh dengan senantiasa beribadah kepada Allah.”
Inilah berita langit yang menggembirakan itu, yang disambut begitu antusias oleh para pemuda, pemilik iman dan ketakwaan saat itu.
Lalu, di sepanjang usia muda kita.........
Telahkah kita turut bergembira dengan kabar wahyu ini? Adakah jiwa kita terbawa ke suasana Mahsyar, ’mencoba’ merasakan kengeriannya, lalu kita pun menyibukkan diri dengan persiapan menuju ke sana, agar nantinya kita termasuk satu dari tujuh kelompok yang diistimewakan itu?
Pemuda yang senantiasa beribadah kepada Rabbnya.
Semoga saja, pemuda itu adalah kita. Pemuda yang bernikmat-nikmat dalam ibadah. Yang memuaskan batinnya dengan ibadah. Ibadah apapun, sepanjang itu dicintai dan diridhai Allah shallallahu 'alaihi wasallam. Atau setidaknya, ada cita-cita yang dibarengi usaha menuju ke sana. Sedikit demi sedikit.
Ini, teramatlah penting untuk kita perhatikan. Karena masa muda yang tidak dipuaskan dalam ibadah, tentu kelemahan fisik di masa tua, semakin menghalangi kita dari ibadah tersebut. Berpuas-puas dengan ibadah, di sanalah keimanan menemukan manisnya. Letih memang di awalnya, tapi di ujungnya, manis dan sejuk yang terasa memenuhi relung jiwa. Jika sudah begini, bukankah di sini letaknya kebahagiaan?
Ketika hari ini, pikiran kita dicemari, diajarkan bahwa kebahagiaan hanya didapatkan dengan memuaskan hawa nafsu. Ketika hari ini, kita dibiasakan mencari kebahagiaan di jalan-jalan dosa dan kemaksiatan. Tibalah masanya, untuk menyadari bahwa kita ternyata ditipu. Sekaranglah waktunya, memahami bahwa hakikat kebahagiaan hanya kita dapatkan di atas jalan ketakwaan.
Di atas jalan ini, kita diingatkan, jelmaan kebahagiaan bukan pada menumpuknya simpanan harta, atau di atasnya kedudukan sosial kita, atau ketika dikelilingi wanita-wanita cantik nan menarik. Bukan di sana letaknya kebahagiaan. Dan bukan ke sana kita mencarinya.
Di atas jalan ini, kita diajari, semakin kita mendekat kepada Allah -'azza wa jalla-, semakin ia begitu terasa kehadirannya. Demikianlah, ketetapan Allah 'azza wa jalla- yang berlaku bagi hamba-Nya.
Memang, tidak mudah meraihnya, sebab ia barang termahal kehidupan. Dan ia, sepenuhnya milik hamba yang dipenuhi dadanya dengan keimanan, yang selalu menghamba kepada Allah Rabbul ’Izzah. Karenanya, ia tidak berujung seiring berhentinya menghirup nafas kehidupan. Bahkan terus, hingga kaki menapak masuk ke dalam jannah-Nya.
Berbeda orang yang kufur kepada Rabbnya, atau yang menyia-nyiakan hidupnya di jalan panjang kemaksiatan. Mungkin juga sempat merasakan kebahagiaan itu. Tapi tidak berapa lama. Sedang di akhirat, siksaan dan azab yang keras, hanya itu yang diterima.
Padahal, akhirat itulah yang kekal. Dan perjalanan ke sana lebih membutuhkan perbekalan.Allah subhanahu wa ta'ala berfirman, artinya,
"Dan berbekallah, sungguh sebaik-baik bekal adalah takwa." (QS. Al-Baqarah: 197).
Karenanya, ketika Allah subhanahu wa ta'ala menunjukkan kita jalan untuk merasakan manisnya keimanan, jangan pernah menyia-nyiakannya. Meskipun berhadapan dulu dengan berlapis-lapis ujian. Firman Allah subhanahu wa ta'ala, artinya,
"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ’kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sungguh Allah mengetahui orang-orang yang benar, dan sungguh Dia mengetahui orang-orang yang dusta." (QS. al-’Ankabut: 2-4).
Ketika keimanan kita diuji, dengan bertebarannya aurat wanita yang bebas dinikmati kapan saja. Ketika bara syahwat mendidih-didih, lalu peluang melampiaskannya terbentang luas di depan mata.Ketika ukhti kita telah memahami akan wajibnya hijab syar’i, lalu larangan justru datang dari orang yang paling dicintainya; orang tua mereka. Ketika istiqamah semakin terasa sulit di saat-saat sendirian, sedangkan keimanan bisa saja tergadaikan dengan kesenangan dunia yang menggiurkan. Ingatkan hati kita akan indahnya kesabaran. "Fashbir shabran jamîlan", maka bersabarlah kamu dengan kesabaran yang baik. Dan pahamilah, kita tak sendirian dalam ujian. Hanya saja tingkatan ujian itu tak sama untuk setiap hamba. Ia bergantung setinggi mana takwa dan keimanan kita kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Karenanya, ucapkanlah apa yang diucapkan Nabiyyullah Ya’qub, "fashabrun jamîl", maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku).
Memang, ujian itu berat bagi hati. Bahkan kadang terlampau berat, di sela-sela kita menapaki jalan kehidupan. Jika sudah begini, bisikkan ke hati dan telinga kita; beginilah cara Allah menunjukkan cinta-Nya kepada sang hamba.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman, artinya:
"Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya." (QS. Al-Baqarah: 45,46).
Di ayat yang lain Allah subhanahu wa ta'ala mengabarkan, artinya,
"Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar, dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar." (QS. Fushshilat: 35).
Rasululullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,yang artinya:
"Dan siapa yang menyabarkan dirinya, Allah pun akan memberinya kesabaran. Dan tidak ada karunia yang lebih baik dan lebih lapang, yang diberikan kepada seseorang, melebihi kesabaran." (HR. Bukhari dan Muslim).
Kita punya banyak teladan dalam sejarah. Petiklah hikmah dari mereka, yang kesabaran menjadi penolongnya dalam mempertahankan keimanan. Bacalah kisah-kisah para nabi, orang-orang shiddîq, para syuhadâ dan shalihîn, yang memiliki kesabaran berlipat-lipat. "Ridhwânullâh ’alaihim jamî’an". Ridha Allah atas semua mereka.
"Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu, dan kuatkanlah kesabaranmu, dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu), dan bertakwalah kepada Allah, pasti kamu beruntung." ( QS. Ali ’Imran : 200).
Yasir sekeluarga, radhiyallahu 'anhum, satu teladan tentang kesabaran yang hidup subur dalam dada sahabat Rasulullah. Tekanan mental dan siksaan raga, bahkan semakin menambah keyakinannya; kesabaran ternyata ’jalan pintas’ menuju surga. ”Bersabarlah, wahai keluarga Yasir. Balasan bagimu adalah surga,” begitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meyakinkan sahabat beliau yang mulia ini.
Karenanya, jika ujian semakin berat terasa, semoga kitalah pemilik keimanan yang tengah diuji oleh Rabb kita; Allah subhanahu wa ta'ala. Semoga juga, cerita kepemudaan kita, tidak lain ia tumbuh di atas jalan-jalan kebaikan, dengan hanya mengharap ridha, ampunan dan pahala di sisi Allah subhanahu wa ta'ala. Âmîn. Wallâhu al-Muwaffiq.
-Ali el-Makassary-
Sumber : Al-Fikrah No.18 Tahun VIII/20 Dzulqa'dah 1428 H
Sebuah persangkaan keliru memang. Namun ini cukup menggambarkan kedahsyatan suasana di padang luas itu, pada hari itu. Tapi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dalam suasana semacam itu, ’menghembuskan’ kabar menyejukkan ke dalam dada setiap sahabat, yang telah merasakan manisnya keimanan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkisah akan hari itu, bahwa ternyata ada hamba, yang justru menikmati keteduhan dan sejuknya bernaung di bawah ’arsy Allah 'azza wa jalla. Tentu mereka yang merasakan itu, bukan orang sembarangan. Tapi mereka adalah hamba pilihan, yang memang dikenal kedekatan mereka dengan Rabbnya.
Tujuh kriteria hamba yang disebutkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, yang akan mendapatkan keutamaan zhilâl (naungan) itu, sebelum mereka bernikmat-nikmat di dalam jannah-Nya. Satu diantaranya,
”Pemuda yang tumbuh dengan senantiasa beribadah kepada Allah.”
Inilah berita langit yang menggembirakan itu, yang disambut begitu antusias oleh para pemuda, pemilik iman dan ketakwaan saat itu.
Lalu, di sepanjang usia muda kita.........
Telahkah kita turut bergembira dengan kabar wahyu ini? Adakah jiwa kita terbawa ke suasana Mahsyar, ’mencoba’ merasakan kengeriannya, lalu kita pun menyibukkan diri dengan persiapan menuju ke sana, agar nantinya kita termasuk satu dari tujuh kelompok yang diistimewakan itu?
Pemuda yang senantiasa beribadah kepada Rabbnya.
Semoga saja, pemuda itu adalah kita. Pemuda yang bernikmat-nikmat dalam ibadah. Yang memuaskan batinnya dengan ibadah. Ibadah apapun, sepanjang itu dicintai dan diridhai Allah shallallahu 'alaihi wasallam. Atau setidaknya, ada cita-cita yang dibarengi usaha menuju ke sana. Sedikit demi sedikit.
Ini, teramatlah penting untuk kita perhatikan. Karena masa muda yang tidak dipuaskan dalam ibadah, tentu kelemahan fisik di masa tua, semakin menghalangi kita dari ibadah tersebut. Berpuas-puas dengan ibadah, di sanalah keimanan menemukan manisnya. Letih memang di awalnya, tapi di ujungnya, manis dan sejuk yang terasa memenuhi relung jiwa. Jika sudah begini, bukankah di sini letaknya kebahagiaan?
Ketika hari ini, pikiran kita dicemari, diajarkan bahwa kebahagiaan hanya didapatkan dengan memuaskan hawa nafsu. Ketika hari ini, kita dibiasakan mencari kebahagiaan di jalan-jalan dosa dan kemaksiatan. Tibalah masanya, untuk menyadari bahwa kita ternyata ditipu. Sekaranglah waktunya, memahami bahwa hakikat kebahagiaan hanya kita dapatkan di atas jalan ketakwaan.
Di atas jalan ini, kita diingatkan, jelmaan kebahagiaan bukan pada menumpuknya simpanan harta, atau di atasnya kedudukan sosial kita, atau ketika dikelilingi wanita-wanita cantik nan menarik. Bukan di sana letaknya kebahagiaan. Dan bukan ke sana kita mencarinya.
Di atas jalan ini, kita diajari, semakin kita mendekat kepada Allah -'azza wa jalla-, semakin ia begitu terasa kehadirannya. Demikianlah, ketetapan Allah 'azza wa jalla- yang berlaku bagi hamba-Nya.
Memang, tidak mudah meraihnya, sebab ia barang termahal kehidupan. Dan ia, sepenuhnya milik hamba yang dipenuhi dadanya dengan keimanan, yang selalu menghamba kepada Allah Rabbul ’Izzah. Karenanya, ia tidak berujung seiring berhentinya menghirup nafas kehidupan. Bahkan terus, hingga kaki menapak masuk ke dalam jannah-Nya.
Berbeda orang yang kufur kepada Rabbnya, atau yang menyia-nyiakan hidupnya di jalan panjang kemaksiatan. Mungkin juga sempat merasakan kebahagiaan itu. Tapi tidak berapa lama. Sedang di akhirat, siksaan dan azab yang keras, hanya itu yang diterima.
Padahal, akhirat itulah yang kekal. Dan perjalanan ke sana lebih membutuhkan perbekalan.Allah subhanahu wa ta'ala berfirman, artinya,
"Dan berbekallah, sungguh sebaik-baik bekal adalah takwa." (QS. Al-Baqarah: 197).
Karenanya, ketika Allah subhanahu wa ta'ala menunjukkan kita jalan untuk merasakan manisnya keimanan, jangan pernah menyia-nyiakannya. Meskipun berhadapan dulu dengan berlapis-lapis ujian. Firman Allah subhanahu wa ta'ala, artinya,
"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ’kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sungguh Allah mengetahui orang-orang yang benar, dan sungguh Dia mengetahui orang-orang yang dusta." (QS. al-’Ankabut: 2-4).
Ketika keimanan kita diuji, dengan bertebarannya aurat wanita yang bebas dinikmati kapan saja. Ketika bara syahwat mendidih-didih, lalu peluang melampiaskannya terbentang luas di depan mata.Ketika ukhti kita telah memahami akan wajibnya hijab syar’i, lalu larangan justru datang dari orang yang paling dicintainya; orang tua mereka. Ketika istiqamah semakin terasa sulit di saat-saat sendirian, sedangkan keimanan bisa saja tergadaikan dengan kesenangan dunia yang menggiurkan. Ingatkan hati kita akan indahnya kesabaran. "Fashbir shabran jamîlan", maka bersabarlah kamu dengan kesabaran yang baik. Dan pahamilah, kita tak sendirian dalam ujian. Hanya saja tingkatan ujian itu tak sama untuk setiap hamba. Ia bergantung setinggi mana takwa dan keimanan kita kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Karenanya, ucapkanlah apa yang diucapkan Nabiyyullah Ya’qub, "fashabrun jamîl", maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku).
Memang, ujian itu berat bagi hati. Bahkan kadang terlampau berat, di sela-sela kita menapaki jalan kehidupan. Jika sudah begini, bisikkan ke hati dan telinga kita; beginilah cara Allah menunjukkan cinta-Nya kepada sang hamba.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman, artinya:
"Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya." (QS. Al-Baqarah: 45,46).
Di ayat yang lain Allah subhanahu wa ta'ala mengabarkan, artinya,
"Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar, dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar." (QS. Fushshilat: 35).
Rasululullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,yang artinya:
"Dan siapa yang menyabarkan dirinya, Allah pun akan memberinya kesabaran. Dan tidak ada karunia yang lebih baik dan lebih lapang, yang diberikan kepada seseorang, melebihi kesabaran." (HR. Bukhari dan Muslim).
Kita punya banyak teladan dalam sejarah. Petiklah hikmah dari mereka, yang kesabaran menjadi penolongnya dalam mempertahankan keimanan. Bacalah kisah-kisah para nabi, orang-orang shiddîq, para syuhadâ dan shalihîn, yang memiliki kesabaran berlipat-lipat. "Ridhwânullâh ’alaihim jamî’an". Ridha Allah atas semua mereka.
"Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu, dan kuatkanlah kesabaranmu, dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu), dan bertakwalah kepada Allah, pasti kamu beruntung." ( QS. Ali ’Imran : 200).
Yasir sekeluarga, radhiyallahu 'anhum, satu teladan tentang kesabaran yang hidup subur dalam dada sahabat Rasulullah. Tekanan mental dan siksaan raga, bahkan semakin menambah keyakinannya; kesabaran ternyata ’jalan pintas’ menuju surga. ”Bersabarlah, wahai keluarga Yasir. Balasan bagimu adalah surga,” begitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meyakinkan sahabat beliau yang mulia ini.
Karenanya, jika ujian semakin berat terasa, semoga kitalah pemilik keimanan yang tengah diuji oleh Rabb kita; Allah subhanahu wa ta'ala. Semoga juga, cerita kepemudaan kita, tidak lain ia tumbuh di atas jalan-jalan kebaikan, dengan hanya mengharap ridha, ampunan dan pahala di sisi Allah subhanahu wa ta'ala. Âmîn. Wallâhu al-Muwaffiq.
-Ali el-Makassary-
Sumber : Al-Fikrah No.18 Tahun VIII/20 Dzulqa'dah 1428 H
Suasana Jiwa Pemilik Himmah
Orang-orang besar dalam sejarah Islam kita selalu dicirikan dengan kehendak yang membaja. Mereka ditandai dengan obsesi kesempurnaan yang bertalu-talu.
Meski obsesi meraih puncak sangat relatif dan berbeda-beda di antara mereka, namun kehendak mencapai prestasi maksimal selalu mengiringi rentang waktu yang mereka lalui. Kesadaran itu selalu terngiang di telinga mereka. Maka jangan heran, obsesi itulah yang selalu menjadi bahan bakar yang melejitkan kendaraan jiwa mereka. Karena itu, Anda akan melihat mereka begitu abai dengan persoalan sepele. Tenaga mereka begitu berharga untuk perkara remeh. Otak cemerlangnya terlalu sayang untuk membahas masalah renyah. Komentar mereka adalah 'no coment' dengan pertanyaan yang tidak ada relevansinya dengan cita mereka. Mereka lebih senang dengan perkara besar yang menantang. Walau mereka tidak memintanya, namun mereka selalu mempersiapkan segalanya untuk menghadapi berbagai kesulitan. Ada semacam kesadaran paten dalam jiwa mereka bahwa hanya dengan kerja keras kejayaan dapat direbut. Hanya dengan berlelah-lelah izzah bisa direngkuh. Sebab tidak ada prestasi besar yang bisa diraih dengan amal yang biasa-biasa. Tidak ada kepuasan jiwa pada kerja yang tidak melelehkan keringat, air mata, bahkan darah.
Sebab itu, pemilik obsesi selalu bersama harapannya di ketinggian ufuk. Jiwanya bertengger di sana. Setiap ruhnya menapaki satu tahap, ia jadi tahu. Setiap jiwanya mendaki di ketinggian ia semakin mengerti. Itu sebabnya mereka tenang, tidak gampang marah, apalagi stres. Kaki mereka mungkin menapak di bumi, namun jiwa mereka melanglang buana di langit keabadian. Mungkin raganya bertarung dengan keangkuhan dunia, tapi ruhnya senantiasa mengetuk pintu langit mengharap rahmat Allah. Mereka terus bekerja dalam sunyi. Meski manusia kebanyakan menganggap semua itu kegilaan, atau mimpi di siang bolong.Tetapi ia tahu, semua itu ibarat tetesan air yang hendak mencairkan bongkahan tekadnya! Sebab kata Ibn al-Jauziy, “…Tidak ada kehinaan yang paling hina pada seseorang kecuali kondisi hatinya yang selalu lengket dengan suasana bumi “.
Sejarah salaf kita sangat kaya dengan orang-orang yang memiliki obsesi besar. Gambaran ini demikian merata semua lapisan generasi terbaik itu. Bukan hanya kalangan pemimpin, tapi juga di kalangan orang yang dianggap 'biasa'. Mungkin keadaan Rabi'ah bin Ka'ab al-Aslami bisa menggambarkan apa yang kita paparkan di atas. Ketika ia menemani Rasulullah disuatu malam guna menyediakan air wudlu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Saat Rasul yang mulia itu memberi kesempatan kepadanya agar meminta. Meminta apa saja ! Maka sahabat yang mulia ini tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Dengan sigap ia berujar “Inni as-aluka murafaqataka filjannah”. Meski Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruhnya meminta yang lain. Namun ia tetap dengan permintaannya semula; “saya mohon pada Anda agar bisa menemanimu di surga”.
Demikianlah suasana jiwa para pemilik Al-himmatul 'aliyah (obsesi besar). Mereka selalu memecut jiwanya agar terus berpacu dan berpacu. Tidak ada jeda untuk istirahat. Atau mungkin ada rehat, tapi itu sekedar mengisi rongga jiwanya dengan tiupan napas kehendak. Setelah itu perjalanan kembali diteruskan. Mereka selalu berkata pada jiwanya, bahwa penghentian itu bukan di sini… ISTIRahat itu bUKAN disini…Tapi di sana !. DI SURGA!
sumber : (Al-Bashirah ed. 02 Tahun II Rabiul Awal 1428 H)
Meski obsesi meraih puncak sangat relatif dan berbeda-beda di antara mereka, namun kehendak mencapai prestasi maksimal selalu mengiringi rentang waktu yang mereka lalui. Kesadaran itu selalu terngiang di telinga mereka. Maka jangan heran, obsesi itulah yang selalu menjadi bahan bakar yang melejitkan kendaraan jiwa mereka. Karena itu, Anda akan melihat mereka begitu abai dengan persoalan sepele. Tenaga mereka begitu berharga untuk perkara remeh. Otak cemerlangnya terlalu sayang untuk membahas masalah renyah. Komentar mereka adalah 'no coment' dengan pertanyaan yang tidak ada relevansinya dengan cita mereka. Mereka lebih senang dengan perkara besar yang menantang. Walau mereka tidak memintanya, namun mereka selalu mempersiapkan segalanya untuk menghadapi berbagai kesulitan. Ada semacam kesadaran paten dalam jiwa mereka bahwa hanya dengan kerja keras kejayaan dapat direbut. Hanya dengan berlelah-lelah izzah bisa direngkuh. Sebab tidak ada prestasi besar yang bisa diraih dengan amal yang biasa-biasa. Tidak ada kepuasan jiwa pada kerja yang tidak melelehkan keringat, air mata, bahkan darah.
Sebab itu, pemilik obsesi selalu bersama harapannya di ketinggian ufuk. Jiwanya bertengger di sana. Setiap ruhnya menapaki satu tahap, ia jadi tahu. Setiap jiwanya mendaki di ketinggian ia semakin mengerti. Itu sebabnya mereka tenang, tidak gampang marah, apalagi stres. Kaki mereka mungkin menapak di bumi, namun jiwa mereka melanglang buana di langit keabadian. Mungkin raganya bertarung dengan keangkuhan dunia, tapi ruhnya senantiasa mengetuk pintu langit mengharap rahmat Allah. Mereka terus bekerja dalam sunyi. Meski manusia kebanyakan menganggap semua itu kegilaan, atau mimpi di siang bolong.Tetapi ia tahu, semua itu ibarat tetesan air yang hendak mencairkan bongkahan tekadnya! Sebab kata Ibn al-Jauziy, “…Tidak ada kehinaan yang paling hina pada seseorang kecuali kondisi hatinya yang selalu lengket dengan suasana bumi “.
Sejarah salaf kita sangat kaya dengan orang-orang yang memiliki obsesi besar. Gambaran ini demikian merata semua lapisan generasi terbaik itu. Bukan hanya kalangan pemimpin, tapi juga di kalangan orang yang dianggap 'biasa'. Mungkin keadaan Rabi'ah bin Ka'ab al-Aslami bisa menggambarkan apa yang kita paparkan di atas. Ketika ia menemani Rasulullah disuatu malam guna menyediakan air wudlu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Saat Rasul yang mulia itu memberi kesempatan kepadanya agar meminta. Meminta apa saja ! Maka sahabat yang mulia ini tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Dengan sigap ia berujar “Inni as-aluka murafaqataka filjannah”. Meski Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruhnya meminta yang lain. Namun ia tetap dengan permintaannya semula; “saya mohon pada Anda agar bisa menemanimu di surga”.
Demikianlah suasana jiwa para pemilik Al-himmatul 'aliyah (obsesi besar). Mereka selalu memecut jiwanya agar terus berpacu dan berpacu. Tidak ada jeda untuk istirahat. Atau mungkin ada rehat, tapi itu sekedar mengisi rongga jiwanya dengan tiupan napas kehendak. Setelah itu perjalanan kembali diteruskan. Mereka selalu berkata pada jiwanya, bahwa penghentian itu bukan di sini… ISTIRahat itu bUKAN disini…Tapi di sana !. DI SURGA!
sumber : (Al-Bashirah ed. 02 Tahun II Rabiul Awal 1428 H)
Langganan:
Postingan (Atom)