Kamis, 19 Juli 2018

Kematian Itu...

Bismillaah...

Sejak kepergian suami tercinta rahimahullah, betul-betul tersadarkan akan kematian. Selama ini, saya sering datang melayat, sering melihat berita kematian baik karena sakit maupun mendadak, tapi setelah beberapa hari berlalu, kembali lupa -astaghfirullah-.

Tapi ini, kematian suami betul-betul gak bisa bikin saya move on. Wajahnya yang teduh di hari terakhir saya melihatnya selalu terbayang-bayang. Betul, kematian memutuskan segalanya dari dunia. Tidak ada yang dibawa selain diri dan amalan kita. Baju beliau, barang-barang beliau, uang beliau, sendal, sepatu, celana, sikat gigi, semuanya sampai kacamata yang tidak pernah lepas dari beliau, beliau gak bawa. Ya Allaah... Hingga saya berpikir, ini semua untuk apa? Barang-barang yang dikoleksi dan dikumpulkan ini semua untuk apa? Jika kematian sudah tiba, mereka tak lagi berarti. Hanya amal sholeh yang menemani.

Hingga sejak kepergian beliau, saya tiba-tiba tidak berselera lagi dengan apapun berkaitan dunia. Jika tidak ingat punya bayi, mungkin saya tidak akan makan lagi. Jika tidak ingat kalau hidup itu butuh uang, mungkin semua uang yang saya punya saat ini ingin disedekahkan saja semuanya. Rasa-rasanya hanya ingin beribadah. Bahkan, sempat berpikir, ya Allaah, kenapa saya gak mati juga -astaghfirullah-.

Berat rasanya ditinggal orang yang selama ini saaangat dekat dengan kita. Berat sekali. Tapi ini takdir Allah, ketetapan Allah yang harus dijalani. Mungkin saya ditegur, selama ini terlena dengan dunia. Ya, mungkin saja.

Pernah berpikir ada di posisi suami. Mungkin, suamiku juga gak tau ya kalau beliau akan pergi selama-lamanya. Walau sebelum-sebelumnya, tanda-tanda itu ada, tapi mungkin suami juga gak tau kalau malam itu adalah batas akhir hidupnya. Banyak rencana, banyak cita-cita, banyak angan yang beliau punya dan belum terealisasi. Tapi, malam itu, cukup sudah batas hidupnya. Ah, andai saya di posisinya, akankah saya siap?

Ah, kematian. Engkau memang pemutus segala kenikmatan. Mengingatmu selalu saja menyisakan derai air mata yang tak bisa tertahankan. Karenamu, kami yang masih hidup rasa2nya hanya ingin beribadah saja terus, sholat-ngaji-puasa dan ibadah lain, ituu saja. Harta tak lagi ada nilainya.

Ya Allah, saya betul-betul tersadar akan kematian. Jika teringat lagi beliau rahimahullah dan membandingkan diri ini, rasanya masih jauh. Pantaslah jika beliau rahimahullah yang dipanggil duluan, karena mungkin amanah beliau rahimahullah telah tuntas dan mungkin Allah rasa cukup ibadah dan amalan beliau selama ini (semoga saja). Dan, sering saya mengingat perilaku beliau semasa hidup, masyaallah, memang semuanya baik. Rasa empati dan suka menolongnya tinggi. Suka membantu, suka meringankan tugasku. Apalagi di tahun terakhir ini, di kehamilan terakhir ini, saya begitu dimanja, sangat dimanja. Lalu, setelah melahirkan, beliau tiba-tiba pergi begitu mendadak, saya terpuruk. Hingga menjalani hari, selalu merasa beliau masih ada. Lalu jika kembali tersadar bahwa beliau betul-betul sudah pergi, ada rasa yang lain. Ada air mata yang tiba-tiba keluar walau sekuat hati untuk ditahan.

Ya Allah, saya yang masih diberi kesempatan hidup, jadikanlah waktuku semuanya bernilai ibadah, ridhoilah segala aktivitasku dan berilah kelapangan hati dan kesabaran kepada saya dalam mendidik anak-anak kami. Ya Allah, jadikanlah anak2ku anak2 yang sholeh sholehah. Hingga tiba saatku juga pergi, mereka lah yang senantiasa mendoakan kami walau kami telah berada di alam kubur. Semoga saya mampu mendidik mereka menjadi sholeh sholehah, hafidz dan hafidzah, orang2 yang berakhlak, dai daiyah dan mereka tidak hanya bermanfaat untuk kami tapi juga untuk ummat ini.

Sinjai, 19 Juli 2018
3 pekan 2 hari kepergian beliau rahimahullah, semoga Allah lapangkan kuburnya, diberi nikmat kubur, dihindarkan dari siksa kubur, hingga kelak masuk dalam syurgaNya bersama Rasulullaah, nabi dan orang-orang sholeh, aamiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar