Masa Sebelum Nabi Dilahirkan
Ada
sebuah kasus yang terjadi pada saat itu. Masyarakat Arab yang dikatakan turunan asli, asalnya itu dari Yaman. Waktu itu tidak ada orang
Arab selain di Yaman. Di Yaman dulu, ada sebuah bendungan yang sangat
terkenal, namanya Ma’rib. Saddul Ma’rib. Saddul itu bendungan, Ma’rib
itu nama kota atau lokasinya.
Masyarakat (Yaman) zaman dulu luar biasa
kehidupannya, sangat makmur, tentram. Tapi, karena mereka kufur terhadap
nikmat Allah subhanahu wata’ala, maka akhirnya bendungan tersebut
dihancurkan oleh Allah (Ini ada kisah tersendiri, disebutkan juga dalam
alQur’an). Pada saat bendungan tersebut hancur, sumber kehidupan
orang-orang Arab ini tidak ada lagi. Mulailah suku-suku Arab Asli ini
keluar dari Yaman, untuk mencari lokasi yang ada airnya (***karena kalau
tidak ada air, mereka tidak bisa hidup. Makanya Allah subhanahu
wata’ala mengatakan dalam alQur’an “Kami menjadikan segala sesuatu itu,
dari air, bisa hidup”. Kalau makanan itu mungkin hanya sekedar menutupi
rasa lapar, tapi kekurangan air, bisa meninggal. Ini sesuatu yang sangat
penting.***).
Lalu keluarlah suku-suku
Arab ini dari Yaman. Salah satu yang jadi saksi bahasan kita adalah
satu suku besar bernama suku Jurhum. Ini suku yang masyhur sekali,
termasuk besar. Suku Jurhum ini tujuannya mau ke negeri Syam.
Note: ***kalau kita melihat peta Jazirah Arab, berbentuk agak miring,
kemudian ada sedikit lengkungan, ini Jazirah Arab. Kalau kita lihat
Yaman, itu berada di Selatan Jazirah Arab, jadi Yaman lebih dekat dengan
kita (Indonesia). Makanya, Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam menjadikan
miqatnya (tempat niat) orang Asia Tenggara (Indonesia dan sekitarnya),
itu Yalamlam namanya, di Yaman. Jadi kalau sudah dekat dengan Saudi,
biasanya disampaikan oleh pramugari/pramugaranya, ini sudah lewat di
atas Yalamlam, maksudnya tempat miqat yaitu di Yaman, di selatan Jazirah Arab
(bagian bawah [lihat peta]). Kalau kita naik lagi (lihat peta), di
utaranya Jazirah Arab itu ada negeri Syam (ada empat negara sekarang;
Yordania, Palestin, Libanon dan Syiria). Ini punya rentetan sejarah yang
sangat besar. Lokasi ini nanti akan sering kita sebutkan; Yaman,
Jazirah Arab umumnya, kemudian negeri Syam.***
Ketika bendungan tadi hancur, suku Jurhum yang asalnya dari Yaman keluar dengan tujuan mau ke negeri Syam,
karena Syam terkenal banyak laut, banyak sungai, kehidupannya bagus,
tidak ada masalah disana. Pada saat mereka jalan, di tengah-tengah
jazirah Arab itu ada kota Mekkah yang mereka lewati. Agar mereka
bisa hidup sampai ke negeri Syam, di pinggiran Jazirah Arab itu ada laut
merah (batas antara Asia dengan Afrika, Saudi dengan Mesir, tempat
dimana Firaun ditenggelamkan oleh Allah ‘azza wa jalla). Lalu, lewatlah
mereka di situ agar mereka bisa hidup dari laut tersebut. Mekkah, kebetulan
sangat dekat dengan laut merah.
Maka, suku Jurhum lewat di sekitar itu, tujuannya
agar bisa tetap hidup sampai ke negeri Syam, mengambil dari lautan tadi
(ikannya, dll). Waktu mereka lewat di sekitar Mekkah, mereka tahu kalau
dekat situ ada lembah, tapi mereka gak tau ada apa disitu. Mereka
dikagetkan karena melihat di atas lembah (Ka’bah) itu, ada burung yang
beterbangan dan mengelilingi lokasi itu. Biasanya, ini berarti ada AIR.
Biasanya begitu. Maka pimpinannya mengatakan ini dari mana nih airnya,
tidak pernah ada seperti ini sebelumnya. Coba utus orang deh, lihat, kok
bisa ada air disana.
Diutuslah dua orang dari suku
Jurhum ini datang ke sekitar
lembah (Ka’bah). Mereka dikagetkan disana ada Hajar dan Ismail hidup di
sekitar mata air tadi (sebelum ada bangunan-bangunan rumah). Karena
doanya nabi Ibrahim ‘alaihissalam tadi, tiba-tiba kejadian ini semua
terjadi. Maka datanglah mereka.
Pada saat mereka datang, karena
mereka terkenal dengan akhlaknya yang mulia, mereka tidak merampas air
itu tapi mereka mengatakan “Air ini adalah milik Anda, wahai Hajar. Kami
suku ini keluar dari Yaman karena ceritanya seperti ini
(kronologisnya). Kami hanya minta satu, kami akan tinggal disini, hidup
dari mata air ini, dan kami akan bayar upeti”. Maka, Hajar setuju.
Datanglah satu suku tersebut, semuanya.
Akhirnya mereka
mulai membangun rumah-rumah, mulai membangun perekonomian di Mekkah, itu
awalnya kisah Mekkah. Dari lembah tidak ada apa-apa sampai masuk suku
Jurhum ini, kemudian mulailah hidup Hajar dan Ismail ‘alaihimussalaam.
Lalu mereka hiduplah dari air tersebut dan Hajar hidup lebih berkembang
lagi karena ada upeti yang dibayar (dari makanan, uang). Hiduplah
suasana di Mekkah pada saat itu.
Mekkah berkembang dan Nabi
Ibrahim belum pernah datang melihat/menjenguk. Ini karena Nabi Ibrahim
‘alaihissalaam menunggu wahyu kapan diperintahkan untuk kesana (karena
semua yang dilakukan harus berdasarkan dengan wahyu, karena beliau seorang Nabi).
Sampai Nabi
Ismail ‘alaihissalaam menikah dengan anak kepala suku Jurhum.
***Nabi Ismail yang tadinya tidak bisa bahasa Arab, menjadi bisa bahasa
Arab, karena memang dia bergabung dan menikah dengan orang Araba asli. Maka dari sinilah keluar
istilah ada Arab Asli dan ada Arab Musta’ribah (arab yang terarabkan),
termasuk Nabi Ismail ‘alaihissalaam. Karena menikah dengan orang Arab
tadi, kemudian punya keturunan, sampai keturunannya nanti ke Nabi
Muhammad sallallaahu ‘alaihi wasallam.***
Ada sebuah riwayat
shohih yang menjelaskan(sebenarnya banyak riwayat tapi tidak dijelaskan
disini karena cukup panjang), diantaranya riwayat Bukhori bahwasanya
Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam mendapat perintah untuk datang ke Mekkah,
menjenguk keluarganya. Pada saat datang ke Mekkah, Nabi Ismail
‘alaihissalaam sudah menikah. Lalu Nabi Ibrahim datangi rumah nabi
Ismail (tentu dengan petunjuk dari Allah subhanahu wata’ala), memberikan
salam kepada istrinya (nabi Ismail), lalu nabi Ibrahim tanya “Dimana
suamimu (Ismail)?”.
Istrinya menjawab “Suami saya lagi pergi”.
Trus ditanya, “Bagaimana kehidupan kalian?”.
“Kehidupan kami susah, ....” (semua isinya adalah keluhan, bermasalah
begini begitu, dll). Intinya adalah dia mempermasalahkan kehidupannya
dengan Ismail yang selalu saja ada masalah.
Lalu Nabi Ibrahim setelah
mendengar, ia mengatakan “Sampaikan kepada suamimu (Ismail), telah
datang seseorang bernama Ibrahim [dia tidak mengatakan ayahnya], dan
menitipkan pesan agar mengganti tiang rumahnya”.
Lalu pergilah Nabi
Ibrahim ‘alaihissalaam.
Sebagian ulama mengatakan, waktu itu Nabi
Ismail ‘alaihissalaam sudah menerima wahyu juga, sehingga ia juga sudah
tahu ayahnya dia siapa (Nabi), bagaimana (beriman kepada Allah), dan seterusnya.
Maka, Ismail pun pulang dan bertanya, “Siapa yang datang?”
Istrinya mengatakan “Ibrahim”.
“Apa pesannya?”.
“Oh, pesannya agar mengganti tiang rumahmu”.
Maka,
Nabi Ismail mengantar istrinya ke rumahnya dan diceraikan. Memang begitu
kisahnya. Kalau para Nabi, perintahnya itu dari langit, bukan lagi
main-main, bukan kayak kita masih menerka-nerka.
Nabi Ismail ‘alaihissalaam menikah lagi kedua kalinya dengan orang lain yang juga anak kepala suku dari Jurhum.
Nabi Ibrahim waktu itu sudah ketemu Hajar, kemudian pulang, dan datang
lagi di waktu yang lain (tidak disebutkan berapa lama selisihnya).
Kedatangannya yang kedua, beliau mendatangi lagi Ismail. Beliau memberi
salam kepada istrinya dan menanyakan hal yang sama dengan istri pertama
Ismail. Jawaban istrinya semuanya pujian, “Alhamdulillaah kehidupan kami
begini, baik...”. Nabi Ibrahim mengatakan, “Baik, nanti kalau suamimu
datang, beritahu, telah datang seseorang yang bernama Ibrahim dan
pesankan bahwasanya pertahankan tiang rumahnya”.
Ketiika Nabi
Ismail datang, ditanyakan siapa yang datang, istrinya menjawab bahwa ada
seseorang yang bernama Ibrahim dan menunggu di rumah ibu Anda, Hajar,
pesannya suruh pertahankan tiang rumah. Istrinya tidak tahu kalau dia
disuruh pertahankan. Maka Ismail mengatakan itu ayah saya dan dia minta
agar saya mempertahankan kehidupan dengannya. Lalu Nabi Ismail
pergi menemui nabi Ibrahim ‘alaihissalaam (di rumah ibunya, Hajar).
Beberapa hari saja bertemu
dengan Ismail (baru hitungan hari bertemu setelah beberapa tahun), tiba-tiba datang perintah, menyuruh
nabi Ibrahim menyembelih anaknya, padahal baru saja ketemu setelah
beberapa tahun. Anak ini (nabi Ismail) laki-laki, kuat, dan juga seorang nabi, ini cobaannya kok
harus disembelih. Dan wahyu ini datang dari Allah hanya lewat mimpi.
***Perlu kita ketahui, Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam dan semua nabi maupun
semua manusia belum pernah bertemu dengan Allah. Jadi kita harus
menyadari bahwa bukan cuma kita yang tidak pernah lihat Allah, para nabi
pun tidak lihat Allah subhanahu wata’ala. Makanya, disini, waktu datang
perintah pun untuk menyembelih anaknya, perintahnya melalui mimpi.***
Apa yang terjadi? Kita dengarkan kisahnya. Disebutkan dalam Alquran dalam surah Ash-Shaffaat (37) : 102-111.
Ayat 102. “Maka tatkala anak itu sampai pada umur sanggup (maksudnya si
Ismail) berusaha bersama-sama dengan ayahnya (Ibrahim). Ibrahim berkata
“Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwasanya aku
menyembelihmu. Maka, fikirkanlah apa pendapatmu.” (artinya, berikan saya
apa pendapatmu).
Disini ulama tafsir mengatakan, kalau Ismail belum
kenal Allah, gak mungkin dia spontanitas mau menerima. Tapi, karena
justru dia juga sudah ternobatkan menjadi nabi, maka dia siap.
“Ismail menjawab, “Hai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah
kepadamu, insya Allah Anda akan mendapati aku termasuk orang-orang yang
sabar.”
Ayat 103. “Tatkala keduanya telah berserah diri”, artinya
dibawalah Ismail ‘alaihissalaam ditempat yang telah ditunjuk oleh Jibril
di sebuah gunung di sekitar Jamroh, di Mina.
(***Nanti ada Jamroh
Aqobah, orang bilang lempar syetan, kecil-sedang-besar. Sebenarnya itu
tidak ada setannya, jangan sampai Anda pikir ada syetannya sehingga
mengambil sendal, kayu, batu besar lalu melempar. Padahal sunnahnya yang
diambil adalah kerikil kecil. Karena Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam pada
saat membawa anaknya menuju ke tempat sasaran di Mina itu yang Allah
suruh, di sebuah batu, diletakkan disitu, pada saat ditaruh, syetan
datang menggoda agar tidak dilaksanakan. Maka Nabi Ibrahim
‘alaihissalaam membaca isti’adzah dan melemparnya tujuh kali dengan batu
kerikil, melempari syetan tersebut.***)
Karena nabi Ibrahim
‘alaihissalaam sudah niat menyembelih anaknya karena perintah Allah,
Nabi Ismail pun sudah menyerahkan dirinya, “Sembelihlah saya karena
Allah yang suruh”,
“dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas
pelipisnya”, jadi sudah diletakkan dan diangkat dagunya untuk disembelih
lehernya, sudah jelas dan tidak ada lagi keraguan.
“Nyatalah kesabaran
keduanya”, Allah sudah tahu kesabaran keduanya.
Ayat 104. “Maka Kami panggil dia: Hai Ibrahim.”
Ayat 105. “Sesungguhnya kamu telah mempercayai mimpi itu”, artinya perintah
untuk disuruh menyembelih. “Sesungguhnya demikianlah Kami memberi
balasan bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.”
Ayat 106. “Sesungguhnya itu benar-benar suatu ujian yang berat”, cuma lihat mimpi saja tapi karena seorang Nabi, harus percaya.
Ayat 107. “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”, ini asas dari sembelihan idul Adha.
Ayat 108. “Kami abadikan untuk Ibrahim ujian tadi di kalangan orang-orang
yang datang kemudian”, apa maksudnya? Kata ulama, seperti kasus Hajar
tadi, selama orang sa’i, Hajar panen pahalanya. Selama Idul Adha ada,
Ibrahim dan Ismail panen pahalanya. Jadi hikmah imaniyahnya disitu.
Dikerjakan karena Allah, maka akan berbekas. Dan Subhanallah, tidak ada
sesuatu yang dikerjakan karena Allah kecuali akan ada bekasnya dan
sangat besar.
Ayat 109. “Yaitu Kesejahteraan dilimpahkan kepada Ibrahim”.
Ayat 110. “Demikianlah Kami memberikan balasan bagi orang-orang yang berbuat baik”.
Ayat 111. “Sesungguhnya, ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman”.
Lalu setelah itu, mulailah ada rentetan ibadah haji. Sa’i sudah selesai
tadi di zaman Hajar, kemudian sembelihan juga sudah ada tinggal masalah
Ka’bah (tawaf).
Maka Allah subhanahu wata’ala memerintahkan nabi
Ibrahim ‘alaihissalaam untuk membangun Ka’bah (asas/pondasinya sudah
ada). Lalu Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam dan Nabi Ismail mulailah
membangun Ka’bah, bekerjasama, hanya dua orang saja. Disini kebanyakan
mereka berdua saja yang membangun karena perintah wahyu begitu. Dan ini
pendapat yang paling rojih. Tidak dilibatkan masyarakat Mekkah waktu
itu. Jadi, mereka berdua saja yang membangunnya, meletakkan batu demi
batu, tentunya batu pada saat itu sangat sederhana, jadi tanah liat yang
dibasahin kemudian dicetak, dibentuk, dikeringkan, sudah, jadi bisa
runtuh setiap saat.
Maka dibuatlah batu-batu seperti itu kemudian
disusunlah. Dan yang kita tau ada maqom Ibrahim (tempat telapak kaki
nabi Ibrahim) itu bukan apa-apa, jangan jadi jahil disini, karena banyak
orang mengganggap itu sakral. Dibungkus dengan kubah emas lah, bisa
dipegang-pegang lah, ada berkahnya.. itu tidak ada sama sekali. Itu
hanya sekedar telapak kaki nabi Ibrahim. Dalam sirah disebutkan, nabi
Ibrahim ‘alaihissalaam waktu membangun ka’bah, setiap sudah mengatur
bata-nya, beliau mundur untuk melihat apakah sudah stabil bangunannya
atau belum. Hanya itu saja. Kenapa dikekalkan oleh Allah subhanahu
wata’ala? Karena ketulusannya nabi Ibrahim, jadi orang bisa kenang.
Salah satu perilaku dikekalkannya, tidak ada orang yang tawaf (umrah
atau haji) kecuali harus sholat 2 rakaat di belakang maqom Ibrahim. Itu
bagian dari tawaf itu sendiri (jika haji dan umrah).
Note:
***sholat di belakang maqom Ibrahim tidak harus pas dibelakangnya.
Sampai ke tempat sa’i di belakang itu tempat sholat 2 rakaat. Jadi
jangan ngotot di tempat tawaf sehingga kepalanya diinjak-injak oleh
jemaah haji.***
Setelah ka’bah selesai dibangun, lalu ada wahyu datang kepada nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Bersambung...
(Sumber: ditranskrip langsung dari ceramah Ust. Dr. Khalid Basalamah hafidzahullaah)
#sirahnabawiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar