Minggu, 20 Januari 2019

Mendidik Anak

Fulan, saat berusia 6 tahun.
-Di sekolah:
Nilai matematika jeblok, nilai science terjun bebas, nilai tematik merinding disko.
Ranking 29 dari 30 siswa.

-Di rumah:
Periang, mulai gampang diajak shalat berjamaah, selalu terucap, "Aku sayang Papa Mama".
.
.
Fulan, saat berusia 8 tahun.
-Di sekolah:
Nilai matematika masih nyungsep, nilai science menanjak hampir tak kentara, nilai tematik tetap oleng.
Ranking 27 dari 30 siswa.

-Di rumah:
Sayang adik, shalat mulai diusahakan di awal waktu, puasa Ramadhan full, semangat mengaji di masjid dekat rumah.
.
.
Fulan, saat berusia 10 tahun.
-Di sekolah:
Nilai matematika sejauh ini tanpa harapan, nilai science mulai membaik, nilai tematik naik turun.
Ranking 25 dari 30 siswa

-Di rumah:
Hafalan ayat bertambah secara signifikan, bantu mama cuci piring tanpa diminta, mengingatkan adik-adiknya untuk tidak buang-buang makanan, jarang membantah orang tua, gampang berempati, stand-up comedian favorit orang serumah.
.
.
.
Orang tua, usia: tua.

-Saat nilai matematikanya jeblok:
"Gimana sih, udah kelas 5 SD perkalian aja masih acak adut begini? Ini kan pelajaran kelas dua! Ihhh, gemesss!"

-Ketika ia rajin membantu mencuci piring:
"Itu wajan sama baskom jangan pura-pura gak dilihat ya? Sekalian dicuci!"
.
.
-Saat nilai tematiknya oleng:
"Dulu waktu Mama SD, pelajaran geografi begini mah luar kepala!"

-Ketika ia berempati pada teman:
"Kamu tiap hari ngasih sebagian uang jajan sama si anu ya? Ya ampun, untuk apa siiihh ...??"
.
.
.
Orang tua mana coba, yang tidak ingin anaknya berprestasi? Multi prestasi malah, kalau bisa.

KALAU BISA. Kalau tidak bisa?

Nilai teteup aja tiarap, mau pakai gaya belajar gas pol plus ekskul plus bimbel sekalipun. Ranking juga istiqomah terus di urutan nyaris ekor.

Belum lagi terhanyut nostalgia betapa ayah bundanya dulu bintang teladan dari sekolah masing-masing. Ditambah pula tetangga, teman dan saudara rajin banget lagi posting prestasi buah hati mereka di medsos, semakin meyakinkan orang tua bahwa ada yang salah dengan anaknya.

Ini anak error dimana sih DNA-nya, kok bisa nir prestasi begini di sekolah?'

Hmm, padahal ....

Si Kecil tersayang sudah dan sedang tumbuh menjadi sebuah pribadi yang cendekia di balik dunia akademisnya. Dengan suka cita ia mengumpulkan nilai terbaik di bidang yang sayangnya tidak pernah dianggap cukup perlu untuk ditakar dengan nilai satu sampai seratus.

Sehingga sadar tidak sadar kita sebagai orang tua kerap terjebak mem-framing cacat akademisnya. Seakan-akan masa depan si anak auto gelap gulita bila ia tidak menguasai rumus Phytagoras atau ilmu pembelahan sel.

Seakan-akan rasa empatinya yang terasah tajam bukanlah poin yang membanggakan. Hafalan tahfiz, shalat di awal waktu, sayang adik, tidak buang-buang makanan ... bablas tak sempat dicermati. Dicermati saja tidak, boro-boro dianggap prestasi ....

Tidak semua anak dilahirkan sebagai matahari tunggal si penebar cahaya yang paling terang. Banyak dari buah hati kita ditakdirkan Allah sebagai bintang yang ribuan, yang walaupun berpendar ketika gelap merayap, ia tetaplah cemerlang dengan jalannya sendiri.

Jadi please, berhentilah hanya fokus mem-framing kegagalan akademis anak semata, tanpa menghargai pertumbuhan kepribadian baiknya. Mendorongnya memperbaiki nilai tentu sah-sah saja, selama kita tidak mem-blur nilai-nilai "lain" yang sudah digenggamnya.

Jangan sampai si Kecil merasa ia gagal di semua aspek kehidupannya akibat apresiasi orang tua yang tidak fair. Tak terbayangkan betapa akan sulit ia menjalani masa depannya.

Jadi, adakah "Si Fulan" dengan komposisi prestasi seperti di atas yang sedang Anda besarkan di rumah?

Selamat! Anda telah mendidiknya dengan sangat baik, Ayah Bunda!
.
.
Tabarakallah
-Cut Cynthia Sativa-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar